Oleh:
I Wayan Suarjana, S.TP
Analis Pasar Hasil Pertanian Ahli Utama
Bali merupakan salah satu pulau yang terletak pada gugusan kepulauan Nusa Tenggara yang beriklim tropis, tanah yang subur, ketersediaan air yang cukup dan berbagai faktor pendukung kehidupan yang lain. Kondisi yang demikian, mendorong tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Bali yang berawal dari kehidupan agraris masyarakatnya. Subak merupakan manifestasi nyata dari kebudayaan tersebut dimana organisasi ini mengejawantahkan hubungan harmonis manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), manusia dengan manusia (sesame) dan manusia denganlingkungan alam sekitarnya. Konsep hubungan harmonis ini dalam ajaran Agama Hindu disebut dengan Tri Hita Karana yang bermakna tiga penyebab kebahagiaan umat manusia.
Subak sebagai sebuah organisasi tentu memiliki berbagai faktor-faktor dasar sebagai ciri khasnya dibandingkan dengan organisasi yang lain. Secara mendasar, terdapat setidaknya empat komponen (4) yang harus ada bilamana organisasi tersebut bisa dikatakan subak yakni petani, lahan atau tanah pertanian, pengelolaan air dan pura subak. Bilamana salah satu dari keempat komponen tersebut tidak ada, maka sejatinya konsep subak belum dikatakan lengkap. Keempat komponen diatas memiliki hubungan dan keterkaitan erat satu dengan lainnya. Keterpaduan keempat komponen diatas menjadi prasyarat dasar adanya konsep subak Lestari yang selama ini digaungkan oleh berbagai pihak. Petani sebagai pemegang peran sentral dalam organisasi subak, karena petanilah yang menjalankan usaha tani dengan melakukan pengolahan lahan, pemasaran maupun melaksanakan upacara-upacara yang dianggap perlu sesuai dengan ajaran Agama Hindu.

Sumber: Kompas.com
Sering kita mendengar ungkapan “Sebutir gabah dihasilkan dari perjuangan petani yang tidak mudah”. Ungkapan ini mengisyaratkan betapa berat dan panjangnya proses yang harus dilalui agar menghasilkan sebutir gabah yang mampu menghidupi umat manusia. Gabah yang kemudian diolah menjadi beras dan nasi merupakan sumber pangan utama bagi masyarakat Indonesia saat ini. Ketersediaan pangan pokok ini menjadi penting dalam rangka menjaga keberlanjutan masyarakat baik dari sisi kesehatan, budaya, tradisi maupun pada aspek stabilitas ekonomi dan politik. Bilamana dimaknai dari sisi nilai-nilai perjuangan, sejatinya petani merupakan pahlawan nyata di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang namun demikian posisi petani seringkali termarjinalkan.
Nilai-nilai kepahlawanan mestinya tidak hanya dimaknai dari sisi perjuangan mengangkat senjata, namun harus diperluas pada segala aspek kehidupan. Sejatinya pahlawan adalah ia yang mampu memberi manfaat bagi kehidupan masyarakatnya baik dari sisi politik, sosial, budaya, ekonomi, pangan, pendidikan dan lain sebagainya. Selam a ini, kita hanya terfokus pada figus-figur pahlawan yang terkenal saja dalam masa pergerakan maupun revolusi kemerdakaan namun seringkali mengesampingkan ribuan bahkan ratusan ribu pahlawan dalam aspek yang lain. Apakah hal ini keliru? Tentu tidak sepenuhnya keliru, dimana pola pikir demikian dibentuk oleh lingkungan yang kurang mengapresiasi nilai-nilai kepahlawanan dari aspek yang lebih luas. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya ulasan atau materi terkait dengan nilai-nilai kepahlawanan yang mengambil subjek dan objek pada sektor pertanian baik di sekolah maupun lingkungan yang pendidikan informal.

Sumber: Beritabali.Com
Nilai-nilai kepahlawanan sangat kentara pada sektor pertanian baik di Bali maupun dluar Pulau Bali. Sebagai contoh, dalam budidaya padi di Bali, krama subak (petani anggota subak) dengan penuh semangat melakukan aktivitas budidaya padi dari persiapan lahan, penyiapan bibit padi, penanaman, perawatan sampai pada akhirnya padi siap untuk dipanen. Dalam proses budidaya padi di Bali, tidak terlepas dari berbagai upacara yang menyertai sebagai ungkapan rasa syukur dan harapan agar hasil yang diperoleh nantinya sesuai dengan harapan. Harapan untuk sebuah keberlanjutan kehidupan umat manusia yang mutlak dipengaruhi oleh ketersediaan dan akses pangan yang optimal. Upacara-upacara tersebut terbagi dalam tiga fase yakni 1) masa pratanam (upacara mapag toya, marekang toya, ngendagin dan ngurit), 2) masa tanam (pengawiwit dan nandur), dan 3) masa pascatanam (mubuhin, mabahin, ngiseh/biyakukung, ngulapin, neduh, penulak paksi, penulak bikul, penulak balang sangit, ngusaba sangket, magurupiduka dan mantenin) (Aridawati, 2020).
Masa lalu, masa kini dan masa depan merupakan periodisasi waktu yang harus dilalui oleh semua insan. Hal mendasar yang perlu dipahami adalah petani sebagai figur utama sektor pertanian selalu hadir dalam setiap periodisasi waktu dimaksud. Petani dengan berbagai keahliannya mampu membentuk sebuah kebudayaan agraris yang mampu menjadi tumpuan kehidupan masyarakat Bali. Dalam rentang waktu yang demikian panjangnya, nilai-nilai kepahlawanan yang ditunjukkan oleh petani dalam setiap gerak langkahnya perlu menjadi suri tauladan bagi kita semua. Nilai-nilai yang menonjol yakni pengorbanan, keikhlasan, pantang menyerah, inovatif, pengabdian, kerja keras dan lainnya. Nilai-nilai diatas sejatinya dapat membuka cakrawala berfikir kita bahwasannya konteks kepahlawannya tidak hanya berfokus pada hal-hal yang berbau angkat senjata namun harus dilihat dari konteks yang lebih luas. Petani merupakan profesi terhormat dalam struktur kemasyarakatan bukan sebaliknya hanya menjadi kaum termarginalkan. Semoga semua pikiran baik datang dari segala penjuru.
Rujukan:
Aridawati, Ida Ayu putu. 2020. Makna Ritual Budaya Pertanian yang Berkaitan dengan Leksikon Bidang Persawahan pada Masyarakat Bali. Kamaya: Jurnal Ilmu Agama. Jayapangus Press. ISSN 2615-0913 (E) Vol. 3 No.3.