Oleh:
I Wayan Suarjana, S.TP., M.Agb.
Analis Pasar Hasil Pertanian Ahli Pertama
Pangan merupakan kebutuhan primer masyarakat yang harus senantiasa dipenuhi agar masyarakat dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Kebutuhan akan pangan dapat dipenuhi dari berbagai jenis sumber pangan sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing daerah di Indonesia. Adapun beberapa sumber pangan yang umum dimanfaatkan oleh masyarakat yakni padi (beras), jagung, ketela rambat, ketela pohon, sagu. Selain itu, banyak pula sumber pangan yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat seperti ubi gadung, sorgum, suweg, talas dan lainnya. Semua sumber pangan diatas dapat tumbuh subur di tanah Nusantara ini sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara agraris yang memiliki potensi pengembangan sumber pangan yang besar.

Permasalahan yang muncul adalah ketika banyak sumber pangan lokal yang mulai tergeser oleh beras sebagai sumber pangan utama (tunggal). Ketergantungan pada sumber pangan tunggal sangat berisiko baik dari sisi ekonomi, politik, sosial budaya dan lingkungan. Risiko dari sisi ekonomi muncul bilamana negara tidak mampu memenuhi kebutuhan beras bagi masyarakatnya sehingga mendorong dilakukannya impor untuk stabilitas pasokan dan harga. Adanya impor berarti sejumlah besar devisa mengalir ke negara eksportir, selain itu pula kebijakan ini kontraproduktif dengan upaya memperkuat sektor pertanian di dalam negeri. Risiko kedua yakni dari sisi politik, dimana negara importir bahan pangan cenderung akan tergantung pada negara ekportir terutama terkait dengan kebijakan-kebijakan yang diambil. Hal ini disebabkan oleh pasokan bahan pangan yang dikendalikan oleh negara-negara eksportir tersebut. Risiko ketiga yakni muncul dari sisi sosial budaya dimana pergeseran pemanfaatan sumber pangan dari non beras ke hanya beras saja memunculkan perubahan pola konsumsi masyarakat, hilangnya berbagai jenis makanan tradisional dan lainnya. Risiko terakhir muncul dari sisi lingkungan dimana pemanfaatan sumber pangan tunggal berimplikasi pada semakin hilangnya sumber pangan lokal akibat tidak mendapat perhatian petani. Kritik yang konstruktif perlu dilontarkan agar “berasnisasi” yang seolah-olah terjadi selama ini dapat dihilangkan dan digantikan dengan kesadaran baru akan pentingnya diversifikasi pangan bagi masyarakat.

Ketahanan pangan secara sederhana dapat dipahami sebagai kondisi dimana setiap orang memiliki akses secara fisik maupun ekonomi akan pangan yang aman dan bergizi dalam jumlah yang cukup dan sesuai dengan selera untuk menunjang kehidupan yang aktif dan sehat (Center for Indonesian Policy Studies, 2023). Ketahanan pangan idealnya harus dapat diwujudkan dan tidak hanya sebatas cita-cita dari masa ke masa. Melihat realita saat ini bahwasannya padi (beras) telah menjadi sumber pangan utama masyarakat, maka tidak ada cara lain selain mendorong peningkatan produksi, kualitas dan kontinyuitas komoditas tersebut. Berbagai hal telah dilakukan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mendorong peningkatan produksi, kualitas dan kontinyuitas padi (beras) seperti diantaranya fasilitasi bantuan benih padi, penetapan harga beli gabah, fasilitasi bantuan alsintan (alat dan mesin pertanian) baik pra maupun pascapanen, fasilitasi program asuransi usaha tani padi (AUTP), fasilitasi kredit usaha rakyat (KUR) sektor pertanian, pendampingan oleh tenaga penyuluh pertanian di lapangan dan berbagai bentuk dukungan lainnya. Namun demikian, berbagai bentuk fasilitasi yang dilakukan oleh pemerintah tidak akan berdampak maksimal pada ketahanan pangan tanpa dukungan dan kesadaran masyarakat.
Berbagai bentuk fasilitasi yang diberikan pemerintah ternyata belum secara optimal mampu menghilangkan ancaman alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Pertanian dianggap sebagai sektor yang kurang menjanjikan secara ekonomi dan memiliki risiko kegagalan yang tinggi. Disisi lain terdapat sektor yang dianggap lebih menguntungkan secara ekonomis oleh pemilik lahan sehingga mendorong mereka untuk melakukan alih fungsi lahan termasuk pada kawasan yang secara aturan dilarang untuk mendirikan bangunan. Menurut laporan harian elektronik CNN Indonesia, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Bali mencapai angka 1.254 Hektar per tahun. Tentu, hal ini tidak hanya terjadi di Bali namun juga terjadi di wilayah lainnya dengan kondisi yang berbeda-beda. Realita ini membuka mata kita bahwasannya sektor pertanian menghadapi tantangan yang berat baik dari sisi optimalisasi produksi maupun pelestariannya.
Pertanyaan yang penting untuk dijawab berangkat dari refleksi kondisi yang terjadi adalah apakah ketahanan pangan mungkin dapat diwujudkan dengan sumber sendiri di dalam negeri? Sebagai seorang anak bangsa tentu kita harus berfikir dan bersikap optimis dalam upaya mewujdukan ketahanan pangan masyarakat. Beberapa hal yang mendukung optimisme tersebut yakni:
- Indonesia merupakan negara bio diversitas, memiliki iklim tropis dan ketersediaan lahan pertanian yang luas. Keunggulan tersebut harus dimanfaatkan secara terencana untuk menghasilkan hasil yang maksimal. Terkhusus lahan pertanian, harus dilestarikan agar dapat terus dimanfaatkan lintas generasi.
- Introduksi teknologi pertanian, benih dan bibit unggul, manajemen sumber daya air, pengembangan sumber daya manusia sektor pertanian, efisiensi produksi, stabilitas harga dan kepastian pasar.
- Mendorong diversifikasi pangan sesuai dengan keunggulan wilayah masing-masing sehingga mengurangi ketergantungan pada sumber pangan tunggal (beras).
Bilamana hal-hal tersebut diatas tidak dapat dilakukan dengan maksimal maka cita-cita mewujudkan ketahanan pangan masyarakat yang berbasis pada sumber daya dalam negeri (mandiri) akan semakin jauh dari yang diharapkan.

