Analisis Konsumsi Pangan Masyarakat di Provinsi Bali

Oleh:
I Made Arinata Winaya
Penyuluh Pertanian Madya

PENDAHULUAN

  • Latar Belakang.

Provinsi Bali memiliki luas wilayah 5.636,66 km2, dengan proyeksi penduduk tahun 2020 sejumlah 4.380.800 jiwa ). Pesatnya pembangunan sektor non pertanian di Provinsi Bali menyebabkan luas baku lahan sawah dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan (beralih fungsi). Luas lahan sawah Kementan (2012) 80.095,092 Ha dan Kementerian ATR (2019) menjadi 70.995,88 Ha, atau terjadi alih fungsi lahan sebesar 9.099,212 Ha*). Sumber air di Bali terdiri dari 4 buah danau dan 162 buah sungai. Komoditas yang dominan diusahakan oleh petani adalah 1) tanaman pangan : padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan ubi jalar; 2) sedangkan untuk tanaman hortikultura : pisang, salak, manga, jeruk, cabe, bawang merah, petsai/sawi, dan kubis.


Komoditi padi dan jagung adalah komoditi tanaman pangan yang paling dominan diusahakan oleh petani, baik di lahan sawah maupun lahan kering. Rata-rata luas tanaman padi dalam setahun adalah 141.153 ha, sedangkan rata-rata luas tanam jagung setahun 17.339,8 hektar.

Tabel 1 Perkembangan luas tanam, panen, produktivitas dan produksi padi dan jagung di Provinsi Bali 2015 s/d 2019.

Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa luas tanam dan panen baik padi maupun jagung cukup berfluktuatif dan cenderung menurun. Luas tanam dan panen tanaman padi dan jagung sangat tergantung pada ketersediaan irigasi dan lahan. Dalam rangka mengantisipasi penurunan produksi sebagai akibat penurunan luas tanam dan panen maka upaya-upaya peningkatan produksi secara intensif. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu peningkatan mutu intensifikasi yang didukung dengan adanya subsidi, proteksi dan pengembangan teknologi spesifik lokasi.


Pemerintah dengan berbagai program terus berupaya meningkatakan produksi pangan. Upaya pencapaian produksi pangan kedepan nampaknya akan mengalami kendala akibat adanya perubahan iklim. Dampak dari perubahan pada hujan dan kejadian iklim ekstrim adalah meningkatnya ancaman Organisme Pengganggu Tanaman, banjir dan kekeringan. Hal tersebut menyebabkan terjadi penurunan produksi. Oleh karena itu upaya yang tepat dilakukan oleh pemerintah adalah diversifikasi pangan.

  • Tujuan

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana pola konsumsi pangan masyarakat dikaitkan dengan diversifikasi konsumsi pangan.

METODA

Data utama yang digunakan untuk menganalisis konsumsi pangan masyarakat adalah data yang bersumber SUSENAS yang diolah oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Bali selama lima tahun terakhir (2015-2019). Selain itu juga digunakan data terkait lainnya yang berasal dari berbagai instansi. Analisis data dilakukan  secara deskripftif  kualiatatif dengan menggunakan tabel dan grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua katagori besar, yaitu kebutuhan pangan dan bukan pangan. Secara alamiah kualitas pangan yang dibutuhkan seseorang akan mencapai titik jenuh sementara kebutuhan bukan pangan tidak terbatasi dengan cara yang sama. Oleh kerena itu, besaran pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan dari suatu rumah tangga dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan rumah tangga tersebut. Makin tinggi pangsa pengeluaran pangan, berarti makin berkurang kesejahteraan rumah tangga tersebut. Sebaliknya makin kecil pengeluaran pangan  maka rumah tangga tersebut makin sejahtera.

 Selanjutnya Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan pengeluaran menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran non pangan. Komposisi pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan ukuran untuk menilai tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat. Semakin rendah prosentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran maka semakin membaik tingkat perekonomian masyarakat.

Pola konsumsi masyarakat Bali sangat berfluktuatif. Hal ini dapat dilihat dari kuantitas pangan yang dikonsumsi salah satunya beras. Presentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran semakin meningkat yaitu tahun 2015 : 40,34 %,  2016 : 42,38 %, 2017 : 42,73 %, 2018 : 43,89 % dan 2019 : 43,92 %. Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan lebih atau sama dengan 60 % dapat dikatagorikan rawan pangan sedangkan rumah tangga dengan proporsi kurang dari 60 % dikatagorikan tahan pangan.

Berdasarkan grafik 1, terlihat tidak ada pola yang jelas antara pengeluaran total dengan pangsa pengeluaran pangan, dalam arti kedua variabel tersebut tidak selalu berbanding lurus atau berbanding terbalik. Hal ini dapat dikatakan bahwa aspek pendapatan tidak selalu mempengaruhi dalam pola konsumsi pangan tetapi aspek lain seperti kebiasaan makan dan adanya pola hidup sederhana dalam rumah tangga.

Pada grafik 1 menyajikan pangsa pengeluaran pangan secara agregat menunjukkan peningkatan. Bila mengacu pada hukum Engel berarti kondisi tahun 2019 tidak lebih baik dibanding kondisi tahun 2015. Dari sisi pendapatan/pengeluaran total secara absolut rata-rata meningkat. Hukum Engel cenderung tidak berlaku sepenuhnya di daerah Bali, kenaikan pendapatan (pengeluaran) total tidak selalu dibarengi dengan menurunnya pangsa pengeluaran pangan. Hal ini karena preferensi rumah tangga berpengaruh dalam memilih dan mengkonsumsi pangan tidak semata-mata hanya pertimbangan pendapatan tetapi juga selera dan sosial budaya setempat.

Pada data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 14 kelompok untuk pangan dan 6 kelompok untuk non pangan. Seperti kita ketahui bersama bahwa makanan pokok masyarakat Bali adalah beras. Hal ini juga terlihat dari pangsa pengeluaran kelompok padi-padian yang mencapai 6,99 %. Menarik untuk diperhatikan pengeluaran kelompok padi-padian dalam lima tahun terakhir cenderung menurun setiap tahunnya, dan kelompok makanan jadi cenderung mengalami peningkatan. Kecenderungan ini mengindikasi telah mulai terjadi pergeseran pola makan di masyarakat yaitu dari makanan yang dimasak dirumah ke arah makanan yang dimasak di luar rumah seperti restoran, kafe, warung dan lain sebaginya. Selama lima tahun terakhir yang konsisten mengalami peningkatan adalah pangsa pengeluaran makanan dan minuman jadi, yaitu dari 14,11 % tahun 2015 menjadi 19,18 % tahun 2019.

Sayur + buah adalah makanan yang banyak dianjurkan untuk dikonsumsi mengingat peranannya dalam kesehatan masyarakat sangat penting. Selama lima tahun terakhir pangsa pengeluaran untuk sayur + buah cenderung meningkat kecuali tahun 2019. Penurunan daya beli masyarakat berdampak negatif pada penurunan pangan hewani yaitu daging+susu+telur dan ikan, dimana pengeluaran pangan tersebut berfluktuatif dari tahun ke tahun dan tergantung daya beli masyarakat.

Tabel 3. Rata-rata Pengeluaran per Kapita sebulan Menurut Kelompok Bahan Makanan Provinsi Bali, 2015-2019

Tabel 4. Pengeluaran Rata-rata per kapita sebulan Menurut Kelompok Bukan Makanan Provinsi Bali, 2015-2019

Tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan, sosial ekonomi secara terintegrasi. Saat ini acuan yang digunakan untuk mengetahui apakah energi dan protein yang dikonsumsi oleh masyarakat sudah terpenuhi atau belum adalah hasil dari Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi XI (WNPG XI) di Hotel Bidakara Jakarta tanggal 3-4 Juli 2018, yang diselenggarakan oleh LIPI dengan instansi lainnya. Hasil WNPG ke XI, tahun 2018 menetapkan bahwa angka kecukupan energi (AKE) dan angka kecukupan protein (AKP) masyarakat Indonesia adalah 2100 kalori/kapita/hari dan 57 gram/kapita/hari.

Sampai tahun 2018, konsumsi energi terus mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2015, namun untuk tahun 2019 konsumsi energi menurun dibandingkan dengan tahun 2018, akan tetapi masih tetap diatas anjuran, dan tetap lebih tinggi dari tahun 2015, yaitu tahun 2015 : 103,96% tahun 2016 :  105,52%, tahun 2017 : 106,63% , tahun 2018 : 108,71%, dan tahun 2019 : 107,50%. Tercukupinya konsumsi energy karena ketersediaan yang mencukupi.

Tabel 5 Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

Tabel 6. Rata-rata Konsumsi Kalori (Kcal) dan Protein (gram) Per Kapita Sehari Menurut Kelompok Bahan Makanan Provinsi Bali, 2015-2019.

Sebagaimana diketahui, ketahanan pangan didefinisikan sebagai terpenuhinya kebutuhan pangan bagi setiap individu sepanjang waktu untuk dapat hidup sehat dan aktif beraktivitas, mencakup aspek ketersediaan, distribusi, keterjangkauan (fisik dan ekonomi) dan dimensi waktu.

Pada tataran rumah tangga, ketahanan pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan baik di tingkat rumah tangga maupun wilayah dan daya beli. Daya beli rumah tangga terhadap pangan yang dibutuhkan tergantung dari tingkat pendapatan dan harga pangan. Tingkat pendapatan rumah tangga tergantung dari jumlah dan produktivitas tenaga kerja, jenis pekerjaan, dan tingkat upah. Sementara itu, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga untuk menghasilkan dan membeli pangan yang dibutuhkan. Selain itu, karena pengertian ketahanan pangan mencakup terpenuhinya kebutuhan pangan, maka pola atau tingkat konsumsi penduduk merupakan faktor penentu tingkat ketahanan pangan rumah tangga.

Dalam kaitan itu, konsumsi per kapita suatu jenis pangan atau bahan makanan dapat digunakan untuk memperkirakan kebutuhan pangan atau makanan tersebut di suatu wilayah untuk periode tertentu. Sementara itu, besaran konsumsi yang disajikan dalam analisis ini hanya mencakup bahan pangan yang dikonsumsi penduduk saja, belum memperhitungkan bahan yang diolah pabrik, sehingga dalam memperkirakan kebutuhan Bali setiap jenis pangan atau bahan makanan tersebut harus juga memperhitungkan banyaknya setiap bahan pangan atau makanan yang diolah pabrik untuk memproduksi makanan/minuman yang mengandung bahan tersebut.

Dalam konteks Bali, berdasarkan hasil olahan Susenas penentuan pola konsumsi pangan pokok rumah tangga didasarkan pada sumbangan energi dari setiap komoditas pangan pokok terhadap total energi pangan pokok (pangan sumber karbohidrat). Kriteria yang digunakan adalah pola pangan pokok beras apabila sumbangan energi dari beras lebih besar dari 90 persen, sedangkan pola pangan pokok beras dan komoditas lain bila masing-masing komoditas lain menyumbang lebih dari lima persen.

Tahun 2014, secara agregat pola konsumsi pangan atau bahan makanan pokok untuk kelompok komoditi padi dan palawija masih didominasi oleh beras. Pada tahun 2014, seperti setiap penduduk Bali rata-rata mengkonsumsi beras sebanyak 8,29 kg/kapita/bulan atau 99,49 kg/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren penurunan dari tahun 2010 dimana konsumsi beras mencapai angka 8,69 kg/kapita/bulan atau 104,32 kg/kapita/tahun. Sedangkan pada tahun 2019 berdasarkan data dari BPS Provinsi Bali rata-rata konsumsi beras  sebanyak 7,42 kg/kapita/bulan atau 89,04 kg/kapita/tahun. Angka ini juga menunjukkan tren penurunan dari tahun 2015 dimana konsumsi beras mencapai 8,102 kg/kapita/tahun atau 97,224 kg/kapita/tahun.

Untuk komoditdi ubi kayu pada tahun 2019 penduduk Bali rata-rata mengkonsumsi sebanyak 0,25 kg/kapita/bulan atau 3,00 kg/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren peningkatan dari tahun 2015 dimana konsumsi ubikayu mencapai angka 0,206 kg/kapita/bulan atau 2,472 kg/kapita/tahun.

Komoditi bawang putih pada tahun 2019 penduduk Bali rata-rata mengkonsumsi sebanyak  2,36 ons/kapita/bulan atau 28,32 ons/kapita/tahun atau 2,832 kg/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren penunurunan dari tahun 2015 dimana konsumsi bawang putih mencapai 2,461 ons/kapita/bulan atau 29,532 ons/kapita/tahun atau 2,95 kg/kapita/tahun.

Komoditi bawang merah pada tahun 2019 penduduk Bali rata-rata mengkonsumsi sebanyak  3,41 ons/kapita/bulan atau 40,92 ons/kapita/tahun atau 4,09 kg/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren penunurunan dari tahun 2015 dimana konsumsi bawang putih mencapai 3,529 ons/kapita/bulan atau 42,348 ons/kapita/tahun atau 4,2 kg/kapita/tahun.

Komoditi daging sapi pada tahun 2019 penduduk Bali rata-rata mengkonsumsi sebanyak  0,01 kg/kapita/bula atau 0,12 kg/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren penunurunan dari tahun 2015 dimana konsumsi daging sapi mencapai 0,013 kg/kapita/bulan atau 0,156 kg/kapita/tahun.

Komoditi daging ayam pada tahun 2019 penduduk Bali rata-rata mengkonsumsi sebanyak  0,72 kg/kapita/bula atau 8,64 kg/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren peningkatan dari tahun 2015 dimana konsumsi daging ayam mencapai 0,602 kg/kapita/bulan atau 7,224 kg/kapita/tahun.

Komoditi telur ayam pada tahun 2019 penduduk Bali rata-rata mengkonsumsi sebanyak  8,85 butir/kapita/bula atau 106,2 butir/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren penunurunan dari tahun 2015 dimana konsumsi bawang putih mencapai 8,898 butir/kapita/bulan atau 106,776 butir/kapita/tahun.

Dalam rangka mendorong mewujudkan penganekaragaman konsumsi pangan sebagai dasar pemantapan ketahanan pangan untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pelestarian sumber daya alam, maka diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal, dimana sasaran dari peraturan tersebut adalah tercapainya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman yang dicerminkan dengan tercapainya skor PPH. Untuk menindaklanjuti Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 dan mendorong terwujudnya penyediaan aneka ragam pangan dan peningkatan konsumsi pangan yang berbasis potensi sumber daya lokal, Kementerian Pertanian menetapkan Gerakan Percepatan penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang dituangkan dalam Peraturan Kementerian Pertanian No.43/Permentan/OT.140/10/2009.

Untuk mewujudkan  Visi “ Nangun Sat Kerthi Loka Bali”, dimana misi tersebut mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, perikanan dan industri kerajinan rakyat, diperlukan pengaturan yang mensinergiskan antara sektor pariwisata dengan sektor pertanian, perikanan dan industri kerajinan, maka Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan strategis berupa Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. Untuk mengimplementasikan Peraturan Gubernur tersebut telah ditindaklanjuti dengan Pedoman pelaksanaannya.

Terkait dengan kemandirian pangan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali telah melaksanakan berbagai upaya dalam rangka peningkatan produktivitas pertanian. Upaya-upaya yang telah dilaksanakan antara lain perbaikan jaringan irigasi tersier, subsidi pupuk, subsidi benih/bibit, Asuransi Usahatani Padi, Asuransi Usahatani Jagung, Asuransi Usahatani Ternak Sapi, dan lain-lain.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan :

  1. Berdasarkan data Susenas 2015 dan 2019 menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat Bali sangat berfluktuatif, hal ini dapat dilihat dari kuantitas pangan yang dikonsumsi, salah satunya beras. ditunjukkan dengan semakin tingginya prosentase pengeluaran untuk pangan terhadap total pengeluaran yaitu tahun 2015 : 40,34 %, 2016 : 42,38 %, 2017 : 42,73 %, 2018 : 43,89 % dan 2019 : 43,92 %, dimana rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan lebih atau sama dengan 60 % dapat dikatagorikan rawan pangan dan sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi kurang dari 60 % dikatagorikan tahan pangan namun karena proporsi pengeluaran pangan < 60 % dikatagorikan tahan pangan.
  2. Konsumsi energi dan protein masyarakat Bali sudah melebihi dari yang dianjurkan.
  3. Pada tahun 2019 berdasarkan data dari BPS Provinsi Bali rata-rata konsumsi beras penduduk Bali sebanyak 7,42 kg/kapita/bulan atau 89,04 kg/kapita/tahun. Angka ini menunjukkan tren penurunan dari tahun 2015 dimana konsumsi beras mencapai 8,162 kg/kapita/tahun atau 97,944 kg/kapita/tahun.
  4. Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan untuk tercapainya diversifikasi pangan seperti Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Dan telah ditindaklanjuti dengan Peraturan Kementerian Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2015. Proyeksi Penduduk Bali 2010-2020.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2016. Bali Dalam Angka 2015.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2017. Bali Dalam Angka 2016.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2018. Bali Dalam Angka 2017.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2019. Bali Dalam Angka 2018.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali.2020. Bali Dalam Angka 2019.
Badan Ketahanan Pangan.2019. Direktori Perkembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Kementerian Pertanian, 2019.
Badan Ketahanan Pangan. 2015. Buku Panduan Perhitungan Pola Pangan Harapan (PPH). Jakarta: Kementerian Pertanian.
Badan Ketahanan Pangan Peraturan Menteri Pertanian No. 43/Permentan/ 0t.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan penganekaragan Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Jakarta: Kementerian Pertanian, 2009.
Dewan Ketahanan Pangan. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragan Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Jakarta: Dewan Ketahanan Panagan, 2009.
Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali kerjasama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial (PPIDS) Universitas Udayana. 2019. Laporan Akhir, Penyusunan Peta Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Provinsi Bali.
Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 Tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.