Capaian Ketahanan Pangan Provinsi Bali

Oleh : Ir. I Md. Tresna Kumara, MMA
Analis Ketahanan Pangan Ahli Madya

Ketahanan Panganadalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk membangun, menyusun, dan mengembangkan Sistem Informasi Pangan dan Gizi yang terintegrasi. Informasi ini sangat penting untuk memberikan arah dan rekomendasi bagi para pembuat keputusan dalam penyusunan program, kebijakan, serta pelaksanaan intervensi di tingkat pusat dan daerah.

            Ketahanan Pangan Provinsi Bali adalah untuk mewujudkan Visi  Pembangunan  Bali Tahun 2018-2023 Nangun Sat Kerti Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana menuju Bali Era Baru. Pembangunan sektor pertanian dijabarkan melalui Misi kesatu yaitu  memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi kehidupan Krama Bali, dan Misi kedua yaitu  mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian, dan meningkatkan kesejahteraan petani.

Kondisi ketahanan pangan suatu wilayah, ditentukan menggunakan  Indek Ketahanan Pangan (IKP)   berdasakan penyusunan  Food Security and Vulnerability Atlas ( FSVA). Pencapaian Indek Ketahanan Pangan (IKP) Provinsi Bali sesuai dengan Buku Indek Ketahanan Pangan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kenebterian Pertanian Republik Indonesia pada tahun 2021 memperoleh IKP tertinggi dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia, dengan nilai IKP   sebesar 83,82.

Berdasarkan peringkat IKP Tingkat Provinsi Tahun 2021, lima provinsi dengan urutan skor terbaik adalah :

  1. Provinsi Bali terbaik I dengan IKP sebesar 83,82
  2. Provinsi Jawa Tengah terbaik II dengan IKP sebesar 82,73
  3. DI Yogyakarta terbaik III dengan IKP sebesar 81,43
  4. Sulawesi Selatan terbaik  IV dengan IKP sebesar (80,82)
  5. Gorontalo terbaik V dengan IKP sebesar 80,52

Demikian juga tiga tahun sebelumnya,  Provinsi Bali telah mendapat piagam sebagai Provinsi dengan Ketahanan Pangan terbaik periode 2018-2020.

Badan Ketahanan Pangan (BKP) pada tahun 2021 menyusun IKP Nasional dengan unit analisis tingkat kabupaten/kota dan provinsi sebagai pemutakhiran IKP 2020. Penyusunan IKP mengadopsi pengukuran indeks global (Global Food Security Index – GFSI) dengan berbagai penyesuaian metodologi sesuai dengan ketersediaan data dan informasi di tingkat wilayah kabupaten/kota dan provinsi. IKP ini juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas – FSVA), karena indikator yang digunakan dalam IKP merupakan indikator yang juga digunakan dalam penyusunan FSVA Nasional. Hal ini dilakukan agar hasil IKP sejalan dengan hasil FSVA.

Sembilan indikator yang dipilih sebagai dasar penentuan IKP adalah sebagai berikut:

  1. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap produksi bersih. Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap produksi bersih komoditas padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar, serta stok beras pemerintah daerah. Produksi bersih didekati dari angka produksi setelah dikurangi susut, tercecer, penggunaan untuk benih, pakan dan industri non pangan. Sedangkan konsumsi normatif ditentukan sebesar 300 gram/kapita/hari. Data produksi padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar serta stok beras pemerintah daerah menggunakan angka tetap 2020 dari BPS dan Kementerian Pertanian.
  2. Persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Indikator ini menunjukkan nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk hidup secara layak. Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tidak memiliki daya beli yang memadai untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehingga akan mempengaruhi ketahanan pangan (DKP dan WFP 2013; FAO 2015). Data persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan bersumber dari Susenas 2020, BPS.
  3. Persentase rumah tangga dengan proporsi pengeluaran untuk pangan lebih dari 65 persen terhadap total pengeluaran. Distribusi pengeluaran untuk pangan dari total pengeluaran merupakan indikator proksi dari ketahanan pangan rumah tangga. Teori Engel menyatakan semakin tinggi tingkat pendapatan maka persentase pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi pangan akan semakin turun. Pengeluaran pangan merupakanproksi yang baik untuk mengukur kesejahteraan dan ketahanan pangan. Makin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara, maka pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil. Data yang digunakan bersumber dari Susenas 2020, BPS.
  4. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik. Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah akan membuka peluang yang lebih besar untuk akses pekerjaan dengan mendorong aktivitas ekonomi di suatu daerah. Karena itu, ketersediaan tenaga listrik dijadikan salah satu indikator kesejahteraan suatu wilayah atau rumah tangga, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi ketahanan pangan (DKP dan WFP 2013). Rumah tangga tanpa akses listrik diduga akan berpengaruh terhadap kerentanan pangan dan gizi. Data persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses listrik berumber dari Susenas 2020, BPS.
  5. Rata-rata lama sekolah perempuan di atas 15 tahun. Rata-rata lama sekolah perempuan adalah jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk perempuan berusia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Tingkat pendidikan perempuan terutama ibu dan pengasuh anak sangat berpengaruh terhadap status kesehatan dan gizi, dan menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan dan pendidikan berhubungan erat dengan penyerapan pangan dan ketahanan pangan. Sumber data yang digunakan berasal dari Data Susenas 2020, BPS.
  6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, yaitu persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung dan air hujan (termasuk air kemasan) dengan memperhatikan jarak ke jamban minimal 10 meter. Akses terhadap air bersih memegang peranan yang sangat penting untuk pencapaian ketahanan pangan. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, daerah dengan akses terhadap air bersih rendah memiliki kejadian malnutrisi yang tinggi. Peningkatan akses terhadap fasilitas sanitasi dan air layak minum sangat penting untuk mengurangi masalah kesehatan khususnya diare, sehingga dapat memperbaiki status gizi melalui peningkatan penyerapan zat-zat gizi oleh tubuh. Sumber data berasal dari data Susenas 2020, BPS.
  7. Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap tingkat kepadatan penduduk. Ketersediaan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis) yang cukup di suatu wilayah akan memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada masyarakat yang pada gilirannya dapat menekan penyakit-penyakit infeksi yang berdampak pada masalah gizi, sekaligus mengkampanyekan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Rasio jumlah penduduk per tenaga kesehatan terhadap kepadatan penduduk akan mempengaruhi tingkat kerentanan pangan suatu wilayah.  Data tenaga kesehatan bersumber dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan Tahun 2020, Kementerian Kesehatan.
  8. Persentase balita dengan tinggi badan di bawah standar (stunting). Balita stunting adalah anak di bawah lima tahun yang tinggi badannya kurang dari -2 Standar Deviasi (-2 SD) dengan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dari referensi khusus untuk tinggi badan terhadap usia dan jenis kelamin (Standar WHO 2005). Status gizi balita merupakan salah satu indikator yang sangat baik digunakan pada kelompok penyerapan pangan. Data stunting diperoleh dari hasil Prediksi Stunting (SAE) tahun 2020, Kementerian Kesehatan.
  9. Angka harapan hidup pada saat lahir. Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Angka harapan hidup merupakan salah satu dampak dari status kesehatan di suatu wilayah. Meningkatnya angka harapan hidup menandakan adanya perbaikan kualitas konsumsi dan kesehatan ibu hamil, status kesehatan secara fisik dan psikis masyarakat pada umumnya, termasuk peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan. Angka harapan hidup saat lahir berasal dari Data Susenas 2020, BPS.