Diantara Pariwisata dan Alih Fungsi Lahan Pertanian di Bali

Oleh:
I Wayan Suarjana, S.TP
Analis Pasar Hasil Pertanian-Ahli Pertama

Bali merupakan salah satu pulau di gugusan Kepulauan Nusa Tenggara yang memiliki iklim tropis, air dan dikaruniai tanah vulkanis yang sangat subur. Anugerah ini menjadikan Bali menjadi salah satu pulau yang memiliki sistem pertanian tradisional terbaik yang dikenal dengan nama subak baik itu subak lahan basah maupun lahan kering. Kondisi alam yang demikian menjadi alasan mengapa leluhur Bali membangun budaya agraris yang terkonsep dengan baik. Terasering dan hamparan sawah nan hijau yang tersebar hampir disemua kabupaten/kota di Bali menjadi bukti cakapnya leluhur Bali dalam menjaga ketahanan pangannya. Sumber daya manusia pada sektor pertanian yang mumpuni, akses pasar maupun budaya agraris yang mengakar menjadikan Bali cukup bersaing pada sektor pertanian. Produk hasil pertanian Bali selain dipasarkan pada pasar lokal juga dikirim ke luar daerah walaupun dengan volume yang tidak begitu besar.

Pertanian menjadi sektor primer dan sektor utama di Bali sebelum berkembangnya pariwisata secara masif. Namun dalam beberapa dekade terakhir ini, terjadi pergeseran sektor yang menjadi tumpuan masyarakat Bali secara umum yakni sektor pariwisata. Perkembangan sektor pariwisata yang masif utamanya di Bali selatan menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat untuk mengais rejeki. Tidak jarang mereka meninggalkan sektor pertanian dikarenakan perbedaan pendapatan yang cukup signifikan. Hal ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi Bali kedepan untuk mempertahankan budaya agrarisnya apalagi subak telah dinobatkan menjadi warisan budaya UNESCO sejak tahun 2012. Pariwisata memberi peluang peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat namun tantangan yang dihadirkan juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Tantangan tersebut diataranya 1) menurunnya luasan lahan pertanian produktif di Bali akibat alih fungsi lahan, 2) menurunnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian, 3) daya dukung lingkungan yang menurun diakibatkan oleh penurunan debit air permukaan dan berbagai dampak lainnya.

Gambar 1. Tegallalang Rice Terrace
Sumber: Indonesia Travel

Sawah menjadi salah satu ruang yang mengalami alih fungsi yang masif terutama didaerah Bali selatan. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali melaporkan luasan lahan sawah di Bali tahun 2017 seluas 78.626 Ha, tentu data ini terus mengalami perkembangan dengan kecenderungan menurun jika melihat masifnya alih fungsi lahan yang terjadi.  Alih fungsi lahan sawah selain untuk kebutuhan tempat tinggal juga didorong oleh kebutuhan akomodasi pariwisata yang semakin meningkat. Semakin hari jumlah villa, hotel, bungalow dan akomodasi pariwisata semakin banyak untuk menangkap peluang dari banyaknya wisatawan yang datang ke Bali. Menurut data BPS Provinsi Bali tahun 2022, jumlah hotel di Bali dari semua tingkatan (bintang 1 sampai bintang 5) yakni 498 hotel. Jumlah tersebut lebih dari 50% berada di Kabupaten Badung yakni sejumlah 380 hotel. Jika dikonversikan ke jumlah kamar, bisa dibayangkan berapa banyak jumlah kamar yang tersedia di Bali belum lagi ditambah villa, bungalow, home stay dan sebagainya.

Gambar 1. Sawah yang Terhimpit Beton
Sumber: Balipost.com

Banyak diantara akomodasi pariwisata tersebut yang berdiri diatas bekas lahan pertanian produktif. Pilihan menggunakan lahan pertanian tidaklah tanpa alasan, salah satu alasan yang sering ditemui yakni kebutuhan view/pemandangan bagi akomodasi dimaksud. Namun jika semua lahan pertanian telah beralih fungsi menjadi bangunan, pemandangan/view apa yang akan dicari wisatawan? Harian online Bisnis.com tertanggal 22 Juni 2022 melaporkan bahwa alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian berada diangka 600 Ha ke atas. Hal ini semakin menekan daya saing produk pertanian Bali utamanya dari sisi kuantitas mengingat luasan lahan menjadi salah satu faktor kunci meningkatkan produksi terutama di negara-negara berkembang dikarenakan belum optimalnya penggunaan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktifitas dan produksi produk pertanian. Kondisi ini diperparah oleh kenyataan bahwa petani di Bali memiliki kepemilikan lahan pertanian yang sempit sehingga tidak jarang tidak layak secara ekonomi ditengah naiknya harga input produksi.

Meredam alih fungsi lahan perlu dilakukan tanpa harus mendistorsi sektor pariwisata Bali yang mulai bangkit pasca pandemi. Sektor pertanian dan pariwisata perlu disinergikan dan dikolaborasikan agar selaras, serasi dan seimbang. Terdapat sedikitnya enam (6) hal yang perlu didorong yakni 1) memperketat ijin pembangunan diatas tanah pertanian produktif, 2) mendorong berkembangnya agrowisata yang berbasis pada kearifan lokal, 3) menstabilkan harga input pertanian pada harga yang terjangkau bagi petani, 4) membuka akses pasar produk pertanian seluas-luasnya, 5) mengurangi distorsi pasar terutama dari spekulan maupun tengkulak yang seringkali membeli harga produk pertania petani dengan harga rendah, 6) Menstabilkan harga komoditas pertanian pada taraf yang menguntungkan bagi petani sehingga merangsang generasi muda melirik sektor pertanian. Enam hal diatas perlu didukung oleh semua pihak agar terealisasi dengan baik. Hal ini penting dilakukan untuk menyelamatkan eksistensi pertanian Bali sebagai daya tarik pariwisata di masa depan.