KACANG GUDE (Cajanus cajan L. Huth) SUMBER PANGAN POTENSIAL DI LAHAN KERING

Oleh
Ir. I Made Oka Parwata, M.MA1)
dan
I Gusti Ayu Putu Mariani, S.TP 2)

Dewasa ini seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia di tengah terjadinya penyusutan lahan pertanian produktif, anomaly iklim, meningkatnya serangan organisme pengganggu tumbuhan dan ketidakstabilan geopolitik, issue ketahanan pangan menjadi sedemikian santer dibahas di seluruh dunia termasuk Indonesia.  Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan di wilayahnya, masing-masing negara dan daerah terus gencar melakukan upaya penggalian sumber-sumber pangan alternatif selain pangan pokok yang berkembang selama ini di wilayah masing-masing, termasuk di Bali.

Sebagaimana diketahui pangan pokok masyarakat Bali adalah beras, namun adanya gejala pelandaian (levelling off) peningkatan provitas padi dan mengingat tingginya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian khususnya lahan sawah serta meningkatnya jumlah penduduk menjadi ancaman nyata terhadap ketahanan pangan Bali.  Oleh karena itu pemerintah terus melakukan upaya penggalian sumber pangan alternatif sebagai pengganti atau substitusi pangan pokok guna menjaga ketahanan pangan masyarakat Bali.  Hal ini sangat penting guna mewujudkan  visi Pemerintah Provinsi Bali “Nangun Sat Kerthi Loka Bali, melalui Pola Pembangunan Semesta Berencana Menuju Bali Era Baru”, khususnya misi 1, yang mengamanatkan terpenuhinya kebutuhan pangan, sandang, dan papan dalam jumlah dan kualitas yang memadai bagi kehidupan Krama Bali.

Kacang Gude (Cajanus cajan L. Huth) yang di Bali lebih dikenal dengan sebutan Undis merupakan tanaman kacang-kacangan yang memiliki nilai gizi cukup tinggi. Kacang Gude/Undis sangat familiar di kalangan petani Bali, khususnya petani lahan kering. Biji Kacang Gude dari komposisi kimia memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan lainnya sebagaimana tampak pada tabel 1 di bawah, sehingga sangat potensial sebagai salah satu bahan pangan alternatif maupun pangan substitusi.

Tabel 1. Komposisi kimia beberapa jenis kacang-kacangan.

Disamping itu Kacang Gude juga relatif lebih murah dan lebih mudah dibudidayakan serta relatif lebih tahan terhadap kekeringan dibandingkan dengan jenis kacang-kacangan lainnya.  Sampai saat ini Kacang Gude di Bali belum banyak dibudidayakan secara monokultur pada areal yang luas, tetapi hanya merupakan tanaman sampingan yang ditanam di pematang, pekarangan atau ditumpangsarikan dengan tanaman lain, seperti Jagung, Shorgum, Ubi Jalar maupun Ubi Kayu.

Tanaman Kacang Gude mampu tumbuh dengan baik pada dataran rendah, lahan sawah, lahan kering maupun dataran tinggi sampai ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut (Joko dan Widowati, 1985) . Tanaman Kacang Gude dapat tumbuh pada tanah-tanah kurang subur dengan lapisan/solum tanah yang tipis. Tanaman Kacang Gude menghendaki penyinaran penuh, tahan kekeringan tetapi tidak tahan terhadap curah hujan yang tinggi. Kacang Gude dapat ditanam pada awal, pertengahan maupun akhir musim hujan serta kemarau asalkan air mencukupi pada awal pertumbuhannya.  Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan Kacang Gude berkisar 600 – 1.000 mm, bahkan dapat pula tumbuh dan menghasilkan pada daerah-daerah dengan curah hujan 500 – 630 mm per tahun.  Hal ini dimungkinkan karena Kacang Gude memiliki sistem perakaran yang luas dan dalam. Kacang Gude baik diusahakan pada daerah 30ºLU – 30ºLS (Suwasik dan Sumarno, 1989).

Sampai saat ini Kacang Gude yang ditanam petani umumnya adalah Kacang Gude varietas lokal yang berumur dalam (6 – 12 bulan) dan berbatang tinggi 1,5 m – 2,5 m.  Saat ini telah ada Kacang Gude varietas unggul introduksi yang berumur genjah, berbatang pendek dengan potensi hasil tinggi. Biji Kacang Gude ada yang berwarna putih dan ada pula yang berwarna hitam.  Kacang Gude varietas lokal yang dipelihara dengan baik hanya mampu menghasilkan ± 1,7 ton biji kering/Ha, sedangkan varietas unggul introduksi dapat menghasilkan 2,4 ton biji kering/Ha.  Ini menunjukkan bahwa Kacang Gude merupakan penghasil biji yang cukup tinggi.

Apabila potensi hasil Kacang Gude yang tinggi tersebut dapat dikembangkan di Bali, maka dapat diharapkan Kacang Gude mampu memberikan sumbangan bagi penyediaan protein nabati disamping Kedele.  Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya tanaman Kacang Gude di Indonesia dan Bali khususnya adalah keterbatasan pengetahuan petani dalam teknis budidaya maupun pemanfaatannya.

CARA BERCOCOK TANAM KACANG GUDE

Seperti halnya dengan tanaman kacang-kacangan lainnya, untuk memperoleh pertumbuhan dan produksi yang optimal, Kacang Gude sebaiknya ditanam di atas guludan, dimana tiap guludan dapat ditanami 1 atau 2 baris tanaman.  Karena morfologi tanaman ini cukup tinggi dan rimbun, maka jarak tanamnya juga lebih lebar.  Populasi tanaman Kacang Gude berkisar 200.000 – 400.000 tanaman/Ha (Djoko dan Widowati, 1985) dengan jarak tanam 50 cm x 20 cm atau 25 cm x 20 cm dengan 2 tanaman/lubang.  Penggunaan jarak tanam tergantung pada varietas yang digunakan.

Walaupun tanaman Kacang Gude dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik pada tanah yang kurang subur, tetapi untuk memperoleh hasil biji yang tinggi, pemupukan tetap dianjurkan, baik dengan pupuk organik maupun an organik. Kacang Gude sebagai salah satu tanaman dari keluarga leguminosa mampu mengikat Nitrogen bebas dari udara bersimbiose dengan bakteri Rhyzobium sp. Untuk itu pemupukan N hanya diperlukan pada awal pertumbuhan dengan jumlah yang relatif kecil.  Dosis pemupukan yang dianjurkan adalah : 22,5 Kg N/Ha (± 50 Kg Urea), 50 Kg P2O5 (± 100 Kg TSP/SP-36) dan 50 Kg K2O/Ha (± 70 – 80 Kg KCl) (Anwar, 1990).

Hama yang banyak menyerang tanaman Kacang Gude adalah ulat daun (Plusiinae, sp) dan hama penggerek polong (Heliothis, sp).  Untuk itu dalam budidaya Kacang Gude masalah serangan kedua jenis hama tersebut mutlak untuk memperoleh perhatian guna menghindari kerugian. 

Panen Kacang Gude dilakukan apabila polong telah kering dan berubah warna menjadi kecoklatan. Pada Gude berumur genjah, mengeringnya polong diikuti dengan mengeringnya tanaman, sedangkan pada Kacang Gude lokal yang berumur dalam (panjang), panen polong pertama akan diikuti oleh fase berbunga periode berikutnya, sehingga dapat dipanen beberapa kali. Setelah dipanen 3 – 4 kali, tanaman Kacang Gude lokal masih dapat berproduksi lagi tetapi sudah tidak ekonomis lagi dan perlu diremajakan.  Hasil panen yang telah cukup kering dilakukan pembijian, pembersihan dan pengeringan sehingga diperoleh biji Kacang Gude dengan kadar air 12% – 14% untuk dapat disimpan.  Biji-biji yang dipanen muda akan keriput setelah pengeringan.  Untuk menghindari masalah pengeringan di musim hujan dapat dihindar dengan pengaturan pola tanam yang tepat.  Biji Kacang Gude yang telah kering dapat disimpan dalam karung maupun kaleng.

PENDAYAGUNAAN KACANG GUDE

Sifat-sifat yang dimiliki Kacang Gude tidak jauh berbeda dengan jenis kacang-kacangan lainnya.  Secara fisik Kacang Gude hampir sama dengan Kedele, apalagi Kacang Gude Hitam, bentuk, ukuran dan warnanya sepintas sama dengan biji Kedele hitam.  Komposisi kimia Kacang Gude sedikit berbeda dengan Kedele, dimana kandungan protein Kacang Gude lebih rendah dibandingkan dengan kandungan protein Kedele, demikian juga dengan kadar lemaknya.

Berdasarkan atas sifat-sifat fisik dan kimia serta pemanfaatan yang telah dilakukan selama ini, maka usaha peningkatan daya guna Kacang Gude dapat dilakukan dengan :

  1. Pengembangan pengolahan secara tradisional
  2. Pengembangan bahan pangan baru dan bahan substitusi.
  3. Pemanfaatan lain, baik sebagai pupuk hijau, pakan ternak serta sebagai tanaman penguat teras.

Pengolahan Secara Tradisional

Secara tradisional, buah-buah Kacang Gude muda yang dipanen sebelum bulu-bulu polong tumbuh dimanfaatkan sebagai sayuran, lalapan atau pengganti kapri, sedangkan biji tua Kacang  Gude dapat dimanfaatkan sebagai lauk-pauk, seperti : rempeyek dan berbagai jenis makanan ringan lainnya.  Disamping itu biji tua Kacang Gude yang direndam juga dalam dijual dalam bentuk tauge kecambah.

Pengembangan Bahan Pangan Baru dan Bahan Substitusi.

Dengan adanya sifat fisik Kacang Gude yang mirip Kedele, diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pengganti/substitusi dari beberapa produk yang berbahan baku Kedele.  Dari hasil kajian, beberapa hasil pangan olahan yang dapat dibuat dari Kacang Gude, antara lain : tempe Gude, kecap dan tahu serta sebagai salah satu bahan makanan campuran.  Salah satu sifat Kacang Gude yang sangat mendukung dalam pemanfaatannya sebagai bahan baku tempe adalah karena kecocokannya sebagai media pertumbuhan kapang dalam proses fermentasi.

Pembuatan tempe Gude dapat mengikuti cara umum dalam pembuatan tempe berbahan baku Kedele dengan sedikit modifikasi.  Dari hasil penelitian di BPTP Sukamandi, menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji organoleptik, rasa dan tekstur tempe Gude berbeda tidak nyata dengan tempe Kedele.  Tetapi terhadap warna, panelis lebih menyukai tempe yang berasal dari Gude Merah Bata dari pada tempe dari Gude Hitam.  Tempe yang terbuat dari Gude Putih ataupun merah kecoklatan mempunyai kenampakan yang mirip dengan Tempe Kedele.  Karena sifatnya tersebut, maka kemungkinan Gude dapat dimanfaatkan sebagai bahan campuran dalam pembuatan tempe dengan komposisi yang masih perlu dikaji lebih lanjut.

            Sebaliknya Gude Hitam merupakan bahan baku yang cukup potensial dalam pembuatan kecap, baik sebagai bahan utama maupun sebagai bahan campuran Kedele, sedangkan Gude putih dapat juga digunakan dengan tujuan yang sama dalam pembuatan tauco. Pembuatan tahu dengan bahan baku Kacang Gude masih menemui hambatan, terutama dalam proses penggumpalan.  Tetapi kemungkinan pemanfaatannya sebagai bahan substitusi parsial Kedele masih memungkinkan.  Rendemen tahu yang diperoleh relatif rendah sehingga masih perlu dilakukan penelitian/pengkajian lebih lanjut untuk memperoleh metode isolasi protein Gude yang lebih tepat.

Kejadian Kurang Kalori Protein (KKP) merupakan penyakit kurang gizi yang umumnya diderita oleh anak-anak balita masih merupakan masalah di Indonesia.  Salah satu usaha untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan penyediaan bahan pangan yang murah tetapi mengandung gizi tinggi.  Untuk itu pemberian pangan olahan berbahan baku Kacang Gude merupakan salah satu alternatif dan memenuhi kriteria terhadap hal tersebut.   Pembuatan Bahan Makanan Campuran (BMC) dari berbagai sumber bahan pangan umumnya sangat dianjurkan guna memenuhi kebutuhan gizi anak balita.  Tepung Gude dapat dikombinasikan dengan tepung biji-bijian lainnya untuk meningkatkan kadar protein pada bahan pangan serelia.

Pemanfaatan Lain Kacang Gude

Tanaman Kacang Gude sebagaimana  tanaman dari familia Leguminosa yang mampu menambat Nitrogen bebas dari udara, juga sering digunakan sebagai pupuk hijau untuk penyediaan bahan organik yang kaya akan Nitrogen disamping sebagai penutup dan pelindung tanah serta dapat memperbaiki struktur tanah.  Seperti halnya tanaman kacang-kacangan lainnya, tanaman Kacang Gude juga dapat digunakan sebagai makanan ternak ruminansia, terutama sebagai suplemen protein untuk pakan selama periode mutu rumput rendah. Kandungan protein pada daun tanaman Kacang Gude mencapai 2,9%.

            Selama masa vegetatif, komponen utama dari “forage” adalah daun, sedangkan sesudah berbunga dan pembentukan polong, nilai gizi total akan meningkat dengan adanya polong dan biji.  Jika dipergunakan sebagai makanan ternak, kandungan asam amino bersulfur relatif rendah, sehingga perlu adanya penambahan sulfur dalam pakan (Djoko dan Widowati, 1985).

            Biji Kacang Gude merupakan sumber protein tinggi apabila digunakan dalam ransum makanan unggas.  Dengan penyediaan yang cukup besar, Kacang Gude dapat diharapkan menggantikan seluruh atau sebagian Kedele dalam ransum pakan unggas.  Penambahan Kacang Gude sampai dengan 30% ke dalam menu pakan dapat meningkatkan kecepatan pertumbuhan ayam dibandingkan bilamana hanya menggunakan menu dasar dari Kedele – Jagung saja (Djoko dan Widowati, 1985).

            Berdasakan sifat dari sistem perakaran serta morfologi tanaman Kacang Gude, khususnya varietas lokal dengan sistem perakaran yang cukup luas dan dalam hingga dapat mencapai ± 25 cm dan akar sampingnya yang dapat mencapai lebih dari 20 cm (tidak termasuk akar halus), perakaran tanaman Kacang Gude yang sangat kuat tersebut akan dapat mengikat agregat-agregat tanah dengan kuat sehingga sangat cocok dimanfaatkan sebagai tanaman penguat teras. Sistem perakaran tersebut dapat diharapkan mengurangi tingkat erosi tanah, sedangkan tajuk tanaman yang cukup rimbun dapat mengurangi daya pukul air hujan terhadap permukaan tanah secara langsung yang pada akhirnya akan dapat mengurangi tingkat erosi tanah (Subudhi dan Senapati, 1995).  Tanaman Kacang Gude yang ditanam sebagai tanaman penguat teras ditanam mengikuti contour tanah pada pinggir-pinggir teras dengan jarak tanam dalam barisan/contour cukup rapat guna memperkecil erosi.  Disamping itu penelitian Joshua N Daniel dan CK Ong (1990), seperti dikutip dari fao.org, menyebutkan sistem perakaran tanaman Kacang Gude yang dalam tidak mengganggu tanaman lain seperti jagung atau sorghum dalam sistem budidaya tumpangsari, bahkan mampu membantu menyuburkan tanah di sekitarnya, karena kemampuan akarnya bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium.

Di Cina, gude tumbuh pada 60.000 ha lahan terlantar untuk konservasi tanah, yang membantu menangkap deforestasi (Saxena 2000). Alley cropping dengan gude juga berguna untuk mengurangi erosi tanah. Daun kacang gude yang gugur tidak hanya menambah bahan organik ke dalam tanah, tetapi juga menyediakan tambahan nitrogen. Gude memiliki mekanisme khusus untuk mengekstrak besi, aluminium dan fosfor terikat kalsium. Bahkan, alelopati dari gude dilaporkan efektif mengendalikan Cyperus rotundus di Guatemala (Heperly et al. 1992).

Sementara itu, buku Rangkuman Fungsi dan Khasiat Tanaman Obat terbitan Merapi Farma Herbal, menyebutkan Kacang gude secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat herbal. Daunnya dimanfaatkan sebagai obat penyakit kudis, pencuci darah, dan obat sakit kuning. Akarnya dimanfaatkan untuk obat cacingan dan batuk berdahak. Bijinya, secara tradisional dimanfaatkan untuk mengobati memar. 

PROSPEK PENGEMBANGAN KACANG GUDE DI BALI

Provinsi Bali merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah secara keseluruhan mencapai 5.636,66 Km² yang secara administratif dibagi menjadi 8 Kabupaten dan 1 kota, 57 kecamatan, 716 Desa/Kelurahan, 1.488 Desa Pekraman serta 3.625 Banjar/Dusun.  Berdasarkan atas topografi wilayah, Daerah Bali memiliki topografi yang sangat lengkap dan variatif, dari lahan pantai, lahan dataran rendah, berbukit dan pegunungan.  Jenis tanah yang dominan di Bali adalah Regosol dan Latosol serta sebagian kecil terdiri dari tanah Alluvial, Mediteran dan Andosol.  Secara umum Provinsi Bali memiliki 2 musim, yaitu : musim hujan dan musim kemarau yang diselingi dengan masa pancaroba. Pada bulan Juni – September, berhembus angin kering dari daratan Benua Australia, sehingga pada masa ini Bali memasuki Musim Kemarau. Pada bulan Desember – Maret angin basah berhembus dari Benua Asia dan Samudera Pasifik, sehingga di Bali terjadi Musim Hujan. Selama 5 tahun terakhir (2017 – 2021) curah hujan (CH) di Provinsi Bali berkisar 2.701,00 s.d 3.107,00 dengan hari hujan (HH) berkisar 101 s.d 169 hari. Jumlah rata-rata bulan basah (CH ≥ 150 mm/bln) setahun berkisar 4 – 8 bulan dan bulan kering sebanyak 4 – 8 bulan (Tabel 1). Dengan kondisi geografis tersebut Bali memang memiliki keterbatasan yang nyata terhadap sumber daya, namun memiliki kondisi agroklimat yang sangat mendukung untuk pengembangan pertanian dengan berbagai komoditasnya.

Tabel. 1    Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Provinsi Bali Tahun 2017 – 2021.

Dari total luas Provinsi Bali yang mencapai 5.636,66 Km², pemanfaatan lahan pertanian pada tahun 2021 didominasi oleh tegalan/kebun yang mencapai 140.466,10 Ha, disusul usaha perkebunan (106.231,30), lahan sawah (74.657 Ha), dan hutan rakyat (24.048,10 Ha), sebagaimana tampak pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Pemanfaatan Lahan Pertanian di Provinsi Bali Tahun 2021.

Sumber : BPS Provinsi Bali Tahun 2021.

Mengingat kondisi geografi, topografi dan iklim di Provinsi Bali, maka dalam pelaksanaan pembangunan pertanian harus dilakukan melalui penerapan metode yang berbeda dan spesifik wilayah, guna terwujudnya pembangunan pertanian berkelanjutan.  Khusus untuk lahan-lahan kering/tegalan, marginal dan memiliki topografi miring, maka pelaksanaan pembangunan pertanian harus mengacu kepada usahatani konservasi.

Sebagaimana disebutkan di atas, masyarakat tani Bali sudah sejak dahulu mengenal tanaman Kacang Gude yang lebih akrab disebut tanaman Undis, dan telah beradaptasi dengan baik di berbagai wilayah di Bali.  Bahkan di Kabupaten Buleleng sayuran dari biji Kacang Gude menjadi salah satu “menu istimewa” masyarakat,  Namun demikian penanaman Kacang Gude selama ini belum dilaksanakan secara intensif dan hanya merupakan tanaman sampingan yang ditumpangsarikan dengan tanaman Jeruk, Jagung, ubi kayu, sayuran atau ditanam sebagai tanaman pekarangan/tegalan ataupun hanya sebagai tanaman penguat teras.

Dari evaluasi sifat tumbuh, persyaratan tumbuh, kemampuan adaptasi, dan potensi produksi serta manfaat Kacang Gude yang cukup beragam, baik dari aspek sebagai bahan pangan, pakan dan usaha konservasi, maka potensi dan prospek pengembangan Kacang Gude di Bali cukup tinggi, khususnya untuk lahan tegalan/kebun yang mencapai 140.466,10 Ha, dan lahan perkebunan (106.231,30), yang ditanam sebagai tanaman tumpang sari maupun penguat teras.

Menyadari dan melihat begitu besarnya manfaat dan kandungan gizi dari Kacang Gude, perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan Gude secara lebih luas kepada masyarakat sehingga memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan menjadi produk komersial.

Dari kajian sifat-sifat fisik, kimia dan gizi serta teknologi pengolahan kacang Gude, prospek pengembangan dan pemanfaatan Gude cukup baik, apabila didukung dengan faktor-faktor kondisi yang menguntungkan, seperti : teknologi dan sarana pengolahan serta budaya dan pola konsumsi masyarakat.  Beberapa hal yang masih perlu  mendapat perhatian dalam pengembangan Gude di Bali adalah :

  1. Peningkatan pengetahuan petani dalam budidaya Gude secara lebih intensif serta pemahaman pemanfaatannya sehingga dapat memotivasi petani untuk lebih mengembangkannya.
  2. Perbaikan dan pengembangan sistem pengolahan. Saat ini sistem pengolahan di tingkat petani/rumah tangga belum merupakan masalah karena masih dalam skala kecil/rumah tangga dengan teknologi yang sangat sederhana. Pengembangan dan perbaikan teknologi pengolahan, khususnya dalam penggilingan Gude merupakan kegiatan yang sangat penting dalam tahap pengolahan Gude, sehingga perlu diperkenalkan kepada masyarakat tani di perdesaan.
  3. Perbaikan sistem/tata cara penyimpanan guna mencegah serangan hama gudang/hama bubuk sehingga kerusakan/penurunan mutu Gude dapat dicegah.
  4. Perlu dilakukan pengembangan Gude yang mempunyai sifat-sifat unggul baik dalam hal produktivitas, ketahanan terhadap hama dan penyakit, rasa dan sifat kimia serta fisik biji yang baik pula.
  5. Perlu dilakukan kaji terap menyangkut teknologi budidaya, pengolahan yang didukung dengan kegiatan penyuluhan melalui unit percontohan, pengembangan distribusi dan pemasaran.
Foto Tanaman Kacang Gude Muda
Insert : Bunga, Buah Gude Muda dan Biji Gude kering

DAFTAR PUSTAKA

  1. Djoko S.D dan Widowati, 1985. Evaluasi Sifat Gude Sebagai Bahan Pangan Dalam Usaha Penganekaragaman Pangan. Makalah Diskusi Pangan Bogor, 19 – 20 Maret 1985.
  2. Heperly P, Aguilar EH, Perez R, Diaz M, Reyes C, Rizvi SJH. 1992. Allelopathy: basic and applied aspects, In Heperly P, Aguilar EH, Perez R, Diaz M, Reyes C, Rizvi SJH. (Eds.) Phosphorus-nutrition-of-grain-legumes-in-the-semi-arid-tropics 91–98. ICRISAT, Patencheru, Andhra Pradesh, India. pp. 357–370.
  3. Saxena KB. 2000. Pigeonpea in China. International Crops Research Institute for the Semi-Arid Tropics, Patancheru 502 324, A.P. India. (limited distribution). p. 29
  4. Subudhi  C.R .  Senapati  P.C.  1995.  Effect  of  cropping  systems  on  run -off,  soil  loss  and  crop  productivity. Indian J of Soil Conserv 23(1):82 – 83
  5. Suwasik Karsono dan Sumarno, 1989. Kacang Gude. Balai Peneltian Tanaman Pangan Malang.