Oleh : I Dewa Ayu Yona Aprianthina (POPT Ahli Muda)


Tanaman cabai rawit berasal dari Amerika Latin dengan nama ilmiah Capsicum frutescens L. Di Indonesia, tanaman ini dapat ditanam di daerah tegalan, dengan ketinggian tempat 0-1000 m diatas permukaan laut dengan suhu 26-28 oC, curah hujan 1.000-3.000 mm/tahun, dengan pH tanah 6-7, tekstur tanah remah/gembur, peresapan air dan sirkulasi udara lancar (Ditjenhorti, 2009).
Peningkatan produksi dan mutu cabai rawit memerlukan manajemen budidaya dari pra panen hingga pasca panen. Kegiatan budidaya meliputi pemeliharaan, pemupukan, pengairan, pengendalian OPT, panen dan penanganan pasca panen. Pertanian organik merupakan budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis (Wikipedia, 2022). Budidaya pertanian secara organik merupakan salah satu pilihan manajemen budidaya cabai karena bahan organik yang ditambahkan dalam budidaya cabai organik berasal dari bahan alam di sekitar yang mudah didapat, mudah dibuat sendiri dengan teknik sederhana sehingga dapat menekan biaya produksi. Dalam rangka pengembangan pertanian organik yang mendukung Peraturan Gubernur Bali Nomor 15 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Sistem Pertanian Organik dikembangkan pembuatan demostrasi plot (demplot) cabai rawit organik seluas 1 are dengan umur tanam cabai yang berbeda di wilayah Peguyangan Kangin, Denpasar Utara, Provinsi Bali yang dimulai sejak bulan Mei tahun 2022 atas inisiasi petani bernama Nyoman Suwena.

Salah satu yang menjadi pembatas pertumbuhan tanaman cabai rawit yaitu faktor biotik berupa gangguan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). OPT utama yang menyerang tanaman cabai yaitu lalat buah (Bactrocera sp.), Trips (Thrips parvispinus), Kutu kebul (Bemisia tabaci), antraknosa (Colletotrichum sp), Gemini virus , Bercak daun, dan Busuk buah. Pengendalian OPT yang dilakukan di lokasi demplot organik cabai rawit yaitu dengan memadukan teknik pengendalian secara terpadu (PHT) secara preemtif (upaya pencegahan) dan responsif/kuratif (menurunkan populasi OPT) (Ditjenhorti, 2009).



Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan praktek pertanian berkelanjutan untuk mengendalikan populasi OPT dengan memadukan teknik pengendalian secara hayati, budidaya, fisik, mekanik, dan kimia untuk meniminimalkan risiko ekonomi, kesehatan dan ekologi lingkungan (Ditjenhorti, 2017). Pengendalian OPT dengan penerapan prinsip PHT mendukung pengembangan pertanian berbasis organik karena sarana input produksi berupa bahan organik dan menjadikan penggunaan pestisida kimia sintetik menjadi alternatif pengendalian terakhir. Pengendalian OPT yang dilakukan oleh petani cabai rawit organik di Desa Peguyangan Kangin oleh Nyoman Suwena secara pre-emptif dilakukan dengan pemupukan berimbang menggunakan bahan organik dan penambahan agensia hayati berupa Trichoderma sp. padat dan metabolit sekunder Trichoderma sp., sanitasi lahan, menggunakan jenis tanaman refugia untuk melestarikan musuh alami, pemberian pupuk organik berupa Mikro Organisme Lokal berbahan bahan utama nasi basi, daun gamal, batang tanaman pisang, dan kulit pisang, serta menggunakan larutan berbahan dasar cangkang telur. Sedangkan kegiatan pengendalian OPT secara responsif/kuratif dilakukan dengan melakukan pengendalian yang sesuai berdasarkan hasil pengamatan/monitoring terhadap keberadaan OPT tertentu dan jika serangan berat terjadi maka perlu dilakukan pengendalian dengan menggunakan pestisida kimiawi sintetis dengan tepat dosis, jumlah, sasaran, waktu, mutu dan cara.




Konsep Pengendalian Hama Terpadu pada demplot cabai rawit organik yang diterapkan mulai dari persiapan lahan, persemaian, pada saat tanam, dan kegiatan pengamatan serta tindakan pengendalian baik pre-emtif maupun kuratif/responsif. Pada saat persiapan lahan dilakukan pembersihan lahan dari sisa tanaman sebelumnya termasuk tanaman gulma. Selain itu dilakukan juga olah tanah dengan mencangkul tanah sedalam 30-40 cm, membongkar bongkahan tanah, membalikkan tanah sebanyak 3-4 kali selama 5-7 hari (Ditjenhorti, 2017). Pembuatan bedengan disesuaikan dengan teknis budidaya cabai organik yang sesuai dengan kesesuaian keadaan lahan. Penambahan pupuk yang mengandung Trichoderma sp. pada lahan dilakukan di akhir olah tanah dan sebelum membuat bedengan sebanyak 20 ton/ha, namun penambahan pupuk trichoderma oleh petani di demplot cabai rawit organik ini pada saat umur penanaman cabai 7 hari.

Mulsa plastik digunakan untuk menutupi bedengan dilakukan agar mencegah tumbuhnya gulma serta menjaga kelembaban tanah. Bapak Nyoman Suwena tidak menggunakan mulsa plastik, namun menggantinya dengan penggunaan jerami padi yang ditutup di bagian permukaan atas tiap bedengan.
Metode pengendalian hama tanaman dengan cara ini sesuai yang dianjurkan UU No. 2 Tahun 2012, yakni Pengendalian hama Terpadu (PHT). Komponen Utama PHT adalah pengendalian hayati, yang salah satu tekniknya adalah konservasi musuh alami, sehingga tercipta ekosistem pertanian yang stabil dan lestari dengan cara menanam tanaman refugia di areal penanaman cabai rawit.



Refugia dalam bahasa Spanyol Refugio atau shelter (dalam bahasa Inggris) yang berarti tempat berlindung. Menurut para ahli definisi refugia adalah pertanaman beberapa jenis tumbuhan yang dapat menyediakan tempat perlindungan, sumber pakan atau sumberdaya yang lain bagi musuh alami seperti predator dan parasitoid (Nentwig, 1998; Wrattenet al., 1998). Refugia berfungsi sebagai mikrohabitat yang diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam usaha konservasi musuh alami.
Dengan kata lain bahwa refugia adalah tumbuhan (baik tanaman maupun gulma) yang tumbuh disekitar tanaman yang dibudidayakan, yang berpotensi sebagai mikrohabitat bagi musuh alami (baik predator maupun parasitoid), agar pelestarian musuh alami tercipta dengan baik. Jenis tanaman refugia yang ditanam di area demplot cabai rawit organik yaitu Zinia sp. yang mudah ditanam/cepat tumbuh, bibit mudah diperoleh dari biji, regenerasi tanaman tergolong cepat dan kontinyu asal ketersediaan air terpenuhi (selalu dalam kondisi lembab).


Trichoderma sp. merupakan salah satu mikroba antagonis yang dapat mengendalikan patogen yang merugikan pada tanaman cabai. Mekanisme antagonis Trichoderma sp. dalam menghambat pertumbuhan patogen yaitu dengan kompetisi, parasitisme, antibiosis, dan lisis. Perkembangbiakan jamur Trichoderma sp. akan terjadi bila hifa jamur mendapatkan nutrisi makanan yang berassal dari bahan kompos, bekatul, beras atau jagung (Purwantisari dan Hastuti, 2009). Pemberian bahan organik seperti kompos daun yang dicampur dengan Trichoderma sp. pada tanaman cabai dapat memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia tanah serta tidak meninggalkan residu yang berbahaya bagi manusia maupun lingkungan. Pupuk Trichoderma sp. sebagai pupuk susulan ditambahkan pada tanaman cabai menjelang masa generatif sejumlah 250 gr/pohon.
Pupuk kompos yang digunakan oleh Nyoman Suwena berasal dari kotoran kambing dan sapi. Kandungan hara makro dan mikro kotoran sapi berupa N 0,94%; P 2,40%; K 7,69%; Ca 1,45%; Mg 0,36%; C/N 35,78 (Fakultas Pertanian IPB).




Larutan MOL merupakan salah satu pupuk organik cair yang mengandung unsur hara makro (N,P,K) dan mikro (Ca,Mg,Fe,Mn,Zn dan lain-lain), Zat Pengatur Tumbuh (auksin, giberelin dan sitokinin), kandungan mikroorganisme seperti Aspergillus sp, Pseudomonas sp, Saccharomyces sp., serta kandungan mikroba pelarut fosfat dan mikroba selulosis yang bermanfaat untuk menyuburkan tanaman, tanah dan mempercepat pengomposan (Ditjenbun, 2018). Manfaatnya antara lain sebagai bahan dekomposer, penyubur tanah dan tanaman dan mempercepat pembungaan atau pembuahan (Ditjenbun, 2018). Penggunaan MOL nasi basi dengan dosis 200 mL memberikan kualitas kompos terbaik.Kandungan makro tertinggi pada kulit pisang yaitu unsur Kalium. Bonggol pisang mengandung mikroba Azospirillium sp., Aspergillus nigger, Azotobacter sp yang dapat memperbaiki perakaran dalam penyerapan unsur hara (Trubuz, 2012). MOL yang diaplikasikan oleh Nyoman Suwena sejumlah 1 Liter dicampurkan dalam 15 Liter yang diaplikasikan setiap 3 hari sekali pada musim kemarau.





Metabolit sekunder (MS) merupakan senyawa organik yang merupakan sisa metabolisme yang mengandung zat antibiotika, enzim, hormon dan toksin yang dapat dimanfaatkan untuk menghabat perkecambahan spora patogen, melindungi pertumbuhan awal tanaman, memperkuat jaringan tanaman, merangsang pertumbuhan ZPT. Metabolit sekunder yang digunakan oleh petani cabai organik yaitu Metabolit sekunder Trichoderma sp. Sifat MS yang tidak meninggalkan residu menjadi salah satu pilihan jenis bahan organik yang dapat digunakan di demplot cabai rawit organik.
Selain itu, petani juga menggunakan pupuk organik cair yang terbuat dari cangkang telur baik telur ayam broiler, telur ayam kampung maupun telur bebek. Sebanyak 97% kalsium terkandung dalam cangkang telur ayam berupa senyawa kalsium karbonat yang sangat baik sebagai bahan baku pembuatan POC dan dapat menaikkan pH media tanah dan air Suhastyo & Raditya (2021). Machrodania et al. (2015) menambahkan bahwa limbah cangkang telur ayam broiler juga mengandung CaCO3 sebesar 97%, 3% fosfor, 3% magnesium, natrium, kalium, seng, mangan, besi, dan tembaga.
Pengendalian mekanik juga dilakukan dengan cara menghilangkan bagian tanaman cabai yang bergejala serangan hama maupun penyakit dengan cara dipetik kemudian dilakukan pemusnahan diluar area kebun demplot serta memusnahkan bagian tanaman yang bergejala sakit.


Selain faktor biotik, faktor abiotik dapat mempengaruhi perkembangan OPT yang dapat berupa pengaruh dari sinar matahari, ketinggian tempat, kemiringan lahan, suhu, kelembaban udara, pH tanah, cuaca dan kelembaban tanah. Kelembaban tanah dipengaruhi oleh kondisi lingkungan setempat. Musim kemarau dan hujan yang ekstrim terjadi menjadi salah satu faktor pembatas pertumbuhan tanaman cabai rawit di Desa Peguyangan Kangin.




Salah satu teknologi sederhana sebagai bentuk adaptasi terhadap cekaman kekeringan lahan yaitu dengan pemanfaatan irigasi tetes. Irigasi tetes dilakukan dengan memanfaatkan botol air mineral bekas yang dilubangi kecil untuk mengalirnya air secara menetes sehingga tanah di sekitar bedengan menjadi lebih lembab pada saat musim kemarau. Penerapan irigasi tetes sangat efektif pada cabai di lahan kering (Fakrah dkk, 2022).
Hasil pengamatan kebun demplot yang diaplikasikan secara organik dengan non organik terlihat perbedaan secara visual, dimana kebun organik memiliki tampilan kanopi tanaman cabai yang lebih hijau dan tampak segar sedangkan lahan non organik terlihat kering dan banyak yang terserang Thrips sp.






Berdasarkan hasil selama kegiatan demplot organik cabai rawit, panen yang telah dilakukan oleh petani sebanyak 12 kali dengan harga jual Rp. 30.000/kg hingga Rp. 50.000/kg. Total hasil panen cabai yaitu 13,25 kg.
Penerapan pertanian cabai rawit organik yang dilakukan petani di Desa Peguyangan Kangin dalam hal ini berorientasi utama pada penurunan biaya produksi dalam penggunaan bahan kimia sintetik karena bahan input produksi berupa pupuk dan pestisida yang digunakan sebagian besar berasal dari bahan alam yang dibuat sendiri dan aman bagi lingkungan sehingga mampu mewujudkan pertanian ramah lingkungan yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
https://id.wikipedia.org/wiki/Pertanian_organik. Diakses tanggal 10 November 2022 pukul 09.50.
Machrodania, Yuliani, & Ratnasari, E. (2015). Pemanfaatan pupuk organik cair berbahan baku kulit pisang, kulit telur dan PRIMA: Journal of Community Empowering and Services Vol 5(2), 2021 e-ISSN 2579-5074 160 Copyright © 2021 PRIMA: Journal of Community Empowering and Services
Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura. 2017. Buku Saku Bergambar Pengenalan dan Pengendalian OPT Cabai.
Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2009. Pedoman Umum Standar Operasional Prosedur (SOP) Budidaya Cabai rawit.
Direktorat Jendral Tanaman Hortikultura. 2018. Buku Saku Pembuatan Mikro Organisme Lokal (MOL) dan Metabloit Sekunder Agen Pengendali Hayati (MS-APH).
Fakhrah Fakhrah, Ratna Unaida, Faradhillah Faradhillah, Khaira Usrati, Mirna Wati. Analisis Efektivitas Penyaluran Air Melalui Penerapan Irigasi Tetes (Drip Irigation) Pada Tanaman Cabai Di Lahan Kering. Vol 19, No 3 (2022). Jurnal Agrium. Universitas Malukussaleh.