Pertanian Organik Menuju Bali Pulau Organik (Bali Organik Island)

Ir. I Made Oka Parwata, MMA
Penyuluh Pertanian Madya

I. PENDAHULUAN

Dewasa ini seiring dengan meningkatnya taraf hidup, kesejahteraan dan tingkat pendidikan serta kesadaran masyarakat tentang bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian, menyebabkan meningkatnya tuntutan akan produk pangan bermutu dan aman seperti produk pertanian organik semakin meningkat.  Untuk itu petani selaku produsen diharapkan dapat menjawab dan memenuhi tuntutan tersebut.  Untuk memperoleh produk pangan bermutu dan aman harus dimulai dari tahap awal proses produksi, yaitu dari persiapan lahan, benih, penanaman, pemeliharaan (pemupukan, perlindungan dan pengairan) sampai kepada kegiatan panen, pasca panen, pengolahan, distribusi dan penyajian sampai pangan siap dikonsumsi.  Keseluruhan proses produksi produk pangan tersebut harus memenuhi syarat sesuai dengan yang ditetapkan.    Kenyataan di lapangan saat ini menunjukkan kondisi yang kontradiktif, dimana dalam upaya memperoleh tingkat produktivitas dan produksi yang optimal berbagai upaya dilakukan oleh petani untuk mengamankan produksi usahataninya, seperti penggunaan pestisida dan pemupukan yang kurang bijaksana yang dikhawatirkan merusak lingkungan dan rentan terhadap kemungkinan terjadinya cemaran produk pangan oleh residu pestisida yang dapat membahayakan kesehatan.

Seiring dengan semakin berkembangnya “trend” gaya hidup sehat di masyarakat global dengan slogan “back to nature”, menyebabkan permintaan akan produk pertanian organik dan ramah lingkungan semakin meningkat.  Meningkatnya animo masyarakat terhadap produk pertanian organik dan upaya sosialisasi tentang manfaat pertanian organik yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerhati pertanian organik mendorong semakin bertambahnya jumlah pelaku usaha pertanian organik.

Dalam upaya membangun dan mengembangkan pertanin organik di Indonesia khususnya di Bali,  masih banyak kendala dan hambatan yang ditemui disamping beberapa hal yang sudah dicapai sebagai faktor penunjang dalam pengembangan lebih lanjut.  Beberapa kendala tersebut antara lain adalah masih adanya perbedaan persepsi terhadap penerapan sistem pertanian organik di lapangan oleh berbagai “stake holder”, maraknya klaim organik oleh pelaku usaha yang kurang dapat dipertanggungjawabkan, kurangnya apresiasi masyarakat terhadap produk organik, perbedaan proses sertifikasi serta potensi dan peluang pasar yang tersedia.

II. PRINSIP- PRINSIP PERTANIAN ORGANIK

Pertanian organik merupakan jawaban atas revolusi hijau yang digalakkan pada tahun 1960-an dalam rangka peningkatan produksi pangan telah menyebabkan berkurangnya kesuburan tanah dan kerusakan lingkungan sebagai akibat penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang kurang mempertimbangkan keseimbangan ekosistem.  Eksploitasi lahan sawah secara intensif yang berlangsung secara terus menerus dan berlangsung bertahun-tahun telah mengakibatkan penurunan kesuburan dan sifat fisik maupun kimia tanah.  Pemberian pupuk kimia (anorganik) secara terus menerus untuk  mengejar tingkat produktivitas, tanpa diimbangi dengan upaya-upaya memperbaiki kondisi fisik tanah melalui penambahan bahan organik menyebabkan kandungan bahan organik tanah menurun, tanah menjadi kompak, kerusakan struktur tanah dan aerasi tanah berkurang yang mengakibatkan penurunan kemampuan tanah dalam menyimpan dan melepaskan hara dan air bagi tanaman sehingga mengurangi efisiensi penggunaan pupuk dan air irigasi, dan kondisi ini dikenal sebagai tanah sakit.

Pertanian organik sebenarnya sudah sejak lama dikenal, sejak ilmu bercocok tanam dikenal manusia, dimana semuanya dilakukan secara tradisional dengan menggunakan bahan-bahan alamiah.  Pertanian organik modern secara sederhana didefinisikan sebagai sistem budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintettis.  Sedangkan sesuai Permentan Nomor 64 Tahun 2013, Sistem Pertanian organik diartikam sebagai sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah.  Filosofi pertanian organik sesungguhnya merupakan himbauan moral untuk berbuat kebajikan pada lingkungan sumberdaya alam dalam melakukan praktek pertanian dengan mempertimbangkan 3 (tiga) aspek, yaitu :

1. Aspek Ekonomi.

Dalam sistem pertanian organik, selalu mempertimbangkan efisiensi terhadap penggunaan sumberdaya, efisiensi terhadap penggunaan bahan input eksternal, meminimalkan biaya pengobatan dan meningkatkan pendapatan/nilai tambah.

2. Aspek Ekologi.

Dalam usahatani organik, selalu diupayakan semaksimal mungkin memanfaatkan input lokal, meminimalkan polusi dari proses kegiatan produksi, memperbaiki tekstur dan kesuburan tanah, menyeimbangkan keanekaragaman biologi, mengedepankan usahataniberkelanjutan, konservasi sumberdaya alam dan berupaya menjaga keseimbangan ekosistem.

3. Aspek Sosial.

Dalam usahatani organik selalu berupaya meningkatkan kepekaan yang lebih baik terhadap lingkungan, penghargaan terhadap budaya lokal, pemenuhan kebutuhan produk yang sehat dan aman dikonsumsi, mengutamakan lingkungan kerja yang aman dan sehat serta menjaga keharmonisan sosial di pedesaan.

Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan konsumen serta tidak merusak lingkungan.  Dari penerapan sistem pertanian organik akan dihasilkan Pangan Organik, yaitu pangan yang berasal dari suatu lahan pertanian organik yang menerapkan praktek pengelolaan yang bertujuan untuk memelihara ekosistem dalam mencapai produktivitas yang berkelanjutan, melakukan pengendalian gulma, hama dan penyakit melalui beberapa cara, seperti daur ulang sisa tumbuhan dan ternak, seleksi dan pergiliran tanaman, pengelolaan air, pengolahan lahan dan penanaman serta penggunaan bahan hayati. Dalam prakteknya pertanian organik sesuai SNI Sistem Pangan Organik 6729 Tahun 2013, dilakukan dengan cara, antara lain :

  1. Menghindari penggunaan benih/bibit hasil rekayasa genetika (GMO = Genetikally  Modified Organisme).
  2. Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis, pengendalian gulma, hama dan penyakit dilakukan dengan cara mekanis, biologis, rotasi tanaman dan menggunakan pestisida organik.
  3. Menghindari penggunaan  zat pengatur tumbuh (growth regulator) dan pupuk kimia sintetis.  Kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan menambah residu tanaman,  pupuk kandang dan bantuan mineral alami, serta penanaman legum dan rotasi tanaman.
  4. Menghindari penggunaan hormon tumbuhan dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak.

Sesuai dengan definisi dan tujuan dari pelaksanaan pertanian organik, maka dalam pengelolaan  pertanian organik harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut :

  1. Prinsip kesehatan : pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan dan manusia serta Bumi sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan.
  2. Prinsip ekologi : pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan, bekerja, meniru dan berusaha memelihara sistem dan siklun ekologi kehidupan.  Prinsip ekologi meletakkan pertanian organik dalam sistem ekologi kehidupan, dimana produksi didasarkan atas proses dan daur ulang ekologis.  Siklus ini bersifat universal tetapi dalam opersionalnya bersifat lokal sepesifik.
  3. Prinsip keadilan : pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama.
  4. Prinsip perlindungan : pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggung jawab untuk melindungi kesehatan  dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang serta lingkungan hidup.

Lebih lanjut Badan Standardisasi Nasional (BSN) menjelaskan prinsip-prinsip pertanian secara lebih rinci, dimana untuk produk tanaman prinsip-prinsip produksi pangan organik ditetapkan sebagai berikut :

  1. Lahan untuk usahatani organik harus bebas dari residu bahan kimia (lahan bukaan baru). Pada lahan yang sedang dalam periode konversi paling sedikit 2 (dua) tahun dari penggunaan bahan kimia terakhir, sebelum penebaran benih dilakukan dan untuk tanaman tahunan minimal 3 (tiga) tahun.
  2. Dalam hal seluruh lahan tidak dapat dikonversi secara bersamaan, maka boleh dikerjakan secara bertahap dengan menerapkan standar konversi dimulai pada bagian lahan yang dikehendaki.
  3. Areal yang sedang dalam proses konvers dan areal yang telah dikonversi untuk produksi pangan organik tidak boleh diubah. Jika kembali menggunakan input kimia, maka produk yang dihasilkan dikategorikan sudah tidak organik lagi dan harus menunggu minimal 3 (tiga) tahun untuk menghasilkan produk organik.
  4. Tidak menyiapkan lahan dengan cara pembakaran, termasuk pembakaran sampah.
  5. Penyiapan benih harus berasal dari tumbuhan yang  ditumbuhkan secara organik, kecuali pada tahap awal dapat digunakan benih dengan perlakuan pestisida dan dalam penggunaannya dilakukan pencucian untuk meminimalkan residu pestisida sintetik.
  6. Menghindari penggunaan benih/bibit hasil rekayasa genetika (GMO = Genetically Modified Organism).
  7. Sumber air yang tidak terkontaminasi.
  8. Menghindari penggunaan pupuk kimia sintetis. Kesuburan dan produktivitas tanah ditingkatkan dan dipelihara dengan menambah residu tanaman, pupuk kandang yang telah dikomposkan, penanaman legume dan rotasi tanaman. Pupuk organik yang boleh digunakan adalah pupuk dari kotoran ternak dari peternakan organik, urine ternak dari peternakan organik.  Sedangkan yang penggunaannya dibatasi : kompos dari kotoran ternak dan sisa-sisa tanaman, dan limbah industri (guano, sisa tanaman, mulsa, pupuk hijau dan kompos dari limbah organik rumah  tangga).  Yang  dilarang  adalah penggunaan pupuk :   Super  Fosfat,  Urea, Amonium Sulfat, KCl, Kalium Nitrat, Kalsium Nitrat,  Pupuk  kimia  sintesis  yang  lain (Plant Growth Regulatori dan hormon), Synthetic Rooting Agents (semua produk yang mengandung GMO)
  9. Dilarang menggunakan pupuk yang berasal dari kotoran manusia (tinja) dan kotoran babi.
  10. Pengendalian hama/penyakit dan gulma dilakukan secara mekanis, biologis serta rotasi tanaman.
  11. Menghindari penggunaan pestisida kimia sintetis.
  12. Menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh (growth regulator).
  13. Pengemasan untuk produk organik diupayakan menggunakan bahan yang dapat didaur ulang oleh mikroorganisme, atau bahan yang dapat didaur ulang.

                 Berapapun lama masa konversi, produksi pangan organik hanya dimulai pada saat proses produksi telah mendapat pengawasan serta menerapkan tatacara produksi sebagaimana yang telah ditentukan dalam sistem pertanian organik.  Untuk produk ternak, hewan ternak yang dipelihara untuk produksi organik harus menjadi bagian integral dari unit produksi usahatani organik dan harus dikelola sesuai dengan kaidah-kaidan standar organik.  Pengelolaan peternakan organik harus dilakukan dengan menggunakan metode pembibitan (breeding) alami, meminimalkan stress, mencegah penyakit, secara progresif menghindari penggunaan obat hewan jenis kemoterapika (termasuk antibiotik) alopati kimia (chemical allopathic), mengurangi penggunaan pakan ternak yang berasal dari binatang (tepung daging) serta menjaga kesehatan dan kesejahteraan hewan peliharaan.

Sejumlah keuntungan yang dapat dipetik dari pengembangan pertanian organik antara lain adalah  :

  1. Menghasilkan makanan yang cukup, aman dan bergizi sehingga meningkatkan kesehatan masyarakat dan sekaligus daya saing produk agribisnis;
  2. Meningkatkan pendapatan petani;
  3. Menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi petani;
  4. Meminimalkan semua bentuk polusi yang dihasilkan dari kegiatan pertanian;
  5. Meningkatkan dan menjaga produktivitas lahan pertanian dalam jangka panjang, serta memelihara kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan;
  6. Menciptakan lapangan kerja baru dan keharmonisan kehidupan sosial di pedesaan.

Dengan demikian, pengembangan pertanian organik akan berujung pada peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

Sedangkan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan pertanian organik  diantaranya adalah :

  1. Kandungan hara per satuan berat kering pupuk organik jauh dibawah hara yang dikandung pupuk anorganik, sehingga untuk memenuhi kebutuhan dasar tanaman akan unsur hara (minimum crop requirement) dibutuhkan volume pupuk organik yang cukup besar.
  2. Diperlukan teknik dan pengetahuan pemilihan rotasi tanaman untuk memutus siklus hama dan penentuan tanaman selingan yang mampu menyumbang unsur hara pada tanah.
  3. Pemasaran produk organik di dalam negeri sampai dengan saat ini hanyalah berdasarkan kepercayaan konsumen dan produsen, sedangkan untuk pemasaran ke luar negeri masih relatif sulit menembus pasar.
  4. Penggunaan pupuk organik memberikan respon yang lambat untuk pertumbuhan tanaman pada tahun-tahun awal, baru pada musim tanam ketiga dan seterusnya menunjukkan efek yang sama dengan menggunakan pupuk anorganik.

III. PERTANIAN ORGANIK SEBAGAI SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN

Usahatani merupakan suatu jalinan yang kompleks yang terdiri dari : tanah, tumbuhan, hewan, peralatan, tenaga kerja, input lain dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang dikelola oleh seorang petani sesuai dengan kemampuan dan aspirasinya.  Usahatani sebagai suatu sistem untuk dapat berkelanjutan harus dikelola secara bijaksana berdasarkan kemampuan lingkungan fisik, biologis dan sosioekonomis serta sesuai dengan tujuan, kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki petani sehingga tidak mengakibatkan penurunan daya dukung sumber daya alam dalam jangka panjang.

Dalam pertanian berkelanjutan, suatu sistem usahatani harus menghasilkan suatu tingkat produksi yang memenuhi kebutuhan material (produktivitas) dan kebutuhan sosial (identitas) petani dalam batas-batas keamanan tertentu dan tanpa penurunan sumber daya alam dalam jangka panjang. Karena tujuan keamanan, kesinambungan dan identitas biasanya bersaing dengan tingkat produktivitas yang sifatnya segera.

 Pertanian berkelanjutan dijumpai pada konsep LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture).  LEISA mengacu pada bentuk-bentuk usahatani yang berusaha mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lokal yang ada dengan mengkombinasikan berbagai macam komponen sistem usahatani yaitu : tanaman, ternak/hewan, tanah, air, iklim dan manusia sehingga saling melengkapi dan memberikan efek sinergi yang paling besar, serta berusaha mencari cara pemanfaastan input luar hanya bila diperlukan untuk melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam ekosistem dan meningkatkan sumberdaya biologi, fisik dan manusia dengan titik perhatian utama melalui maksimalisasi daur ulang dan meminimalisasi kerusakan lingkungan. 

Prinsip-prinsip dasar ekologi pada pertanian LEISA adalah sebagai berikut :

  1. Menjamin kondisi tanah yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman, khususnya dengan mengelola bahan-bahan organik dan meningkatkan kehidupan mikro organisme dalam tanah.
  2. Mengoptimalkan ketersediaan unsur hara dan menyeimbangkan arus unsur hara, khususnya melalui pengikatan Nitrogen, daur ulang dan pemanfaatan pupuk luar sebagai pelengkap.
  3. Meminimalkan kerugian sebagai akibat radiasi Matahari, udara dan air melalui pengelolaan iklim mikro, pengelolaan air dan pengendalian erosi.
  4. Meminimalkan serangan hama dan penyakit terhadap tanaman dan hewan melalui pencegahan dan perlakuan pengendalian yang aman.
  5. Saling melengkapi dan sinergi dalam penggunaan sumber daya genetik yang mencakup penggabungan dalam sistem pertanian terpadu.

 Dalam sistem pertanian berkelanjutan agar usahatani tetap produktif dan sehat, harus ada jaminan bahwa jumlah unsur hara yang hilang dari tanah tidak melampaui jumlah unsur hara yang dikembalikan ke tanah, sehingga tetap produktif dalam jangka panjang.

Konservasi merupakan faktor yang penting dalam sistem usahatani berwawasan lingkungan.  Konservasi sumberdaya terbarukan berarti sumberdaya tersebut harus dapat difungsikam secara berkelanjutan.  Pertanian ramah lingkungan dimana salah satunya dalah dengan menerapkan pertanian organik, merupakan upaya untuk memfungsikan sumberdaya secara berkelanjutan.  Beberapa prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam menjaga keberlanjutan produksi yang ramah lingkungan adalah : 1) pemanfaatan sumberdaya alam untuk pengembangan agribisnis (terutama lahan dan air) secara lestari sesuai dengan kemampuan dan daya dukung alam; 2) proses produksi atau kegiatan usahatani yang dilakukan secara ramah lingkungan, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif pada masyarakat; 3) penanganan pasca panen dan pengolahan hasil, distribusi dan pemasaran serta pemnafaatan produk tidak menimbulkan masalah pada lingkungan (limbah dan sampah); 4) produk yang dihasilkan harus menguntungkan secara bisnis, memenuhi preferensi konsumen dan aman dikonsumsi.

Memperhatikan prinsip-prinsip dalam pertanian organik yang mengedepankan : kesehatan, ekologi, keadilan dan perlindungan sebagaimana disebut di atas,  tampak dengan jelas bahwa pertanian organik sangat sesuai dengan prinsip dan konsep LEISA yang berupaya untuk mempertahankan dan sedapat mungkin meningkatkan sumber daya alam serta memanfaatkan secara maksimal proses-proses alami, dimana sebagian dari produksi dipasarkan, maka dicari peluang untuk memperoleh kembali unsur hara yang hilang dari sistem usahatani ke pasar.  Tujuan dari pertanian organik juga sangat sejalan dengan tujuan pembangunan pertanian dalam upaya menciptakan pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture) dimana aspek lingkungan menjadi salah satu titik perhatian utama guna terciptanya keseimbangan ekosistem lahan pertanian disamping aspek peningkatan produksi.  Dengan kondisi tersebut maka pertanian organik dapat dikatakan sebagai suatu sistem pertanian berkelanjutan dimana dalam proses produksinya selalu menekankan pelestarian dan konservasi sumber daya alam, proses produksi secara alami sehingga tetap produktif dalam jangka panjang.

IV. PERTANIAN ORGANIK DI BALI            

Daerah Bali yang dalam setiap langkah dan program pembangunannya, khususnya pembangunan pertanian selalu berlandaskan kepada konsep TRI HITA KARANA, yaitu tercapainya keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara  : Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Manusia dan Manusia dengan Alam, sehingga dalam implementasinya selalu berupaya mendukung terwujudnya pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture).  Filosofi ini juga menjadi landasan dari visi Pemerintah Provinsi Bali saat ini yaitu : Nangun Sat Kertih Loka Bali, yaitu bagaimana mewujudkan kesejahteraan masyarakat Bali dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya dan kearifan lokal Bali sekaligus menjaga kesucian dan keseimbangan dan keharmonisan alam Bali beserta isinya.   Pengembangan pertanian organik di Bali mulai mendapat perhatian serius sejak pemerintahan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika yang mencanangkan menjadikan Bali sebagai Pulau Organik (Organik Island).

Dalam rangka pengembangan pertanian organik di Bali, beberapa hal yang telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali, antara lain :

  1. Membangun dan mengembangkan  Sistem Pertanian Terintegrasi (SIMANTRI), yang sekarang disempurnakan manjadi Sistem Pertanian Terpadu (SIPADU).  Sampai dengan akhir Tahun 2018 telah tumbuh dan berkembang 752 unit SIMANTRI di seluruh Bali yang anggarannya bersumber dari APBD Provinsi Bali.  Dari pengembangkan SIMANTRI tersebut telah dihasilkan  berbagai produk ikutan disamping produk utama, seperti : pupuk organik padat, pupuk organik cair (bio urine) dan bio gas.  Dari total 752 unti SIPADU tersebut akan dapat dihasilkan ± 70.000 Ton pupuk organik padat, 580.000 liter bio urine yang dapat dimanfaatkan untuk luasan areal seluas ± 32.000 Ha.
  2. Pengembangan Sistem Integrasi Ternak dengan Kopi. Kegiatan sejenis dengan SIMANTRI/SIPADU, pemerintah pusat melalui dana APBN Kementerian Pertanian juga mengembangkan Sistem Integrasi Tanaman – Ternak berbasis komoditi perkebunan.
  3. Pengembangan Unit Pengolahan Pupuk Organik (UPPO) yang sampai Tahun 2018 telah tercatat 40 unit UPPO telah tumbuh dan berkembang di Bali, dan Tahun 2019 ini kembali akan dibentuk 15 unit. Dari pelaksanaan UPPO dihasilkan  limbah padat dan urine yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik guna mendukung pelaksanaan pertanian organik. 
  4. Memberikan subsidi pupuk organik bagi petani untuk membantu petani dalam pengembangan pertanian organik sekaligus meningkatkan kandungan unsur organik tanah di Bali yang saat ini berkisar 2 – 3 %, sedangkan persyaratan minimal kandungan bahan organik tanah yang baik minimal sebesar 5%. Pada Tahun 2019 ini Pemerintah Provinsi Bali mengalokasikan anggaran untuk subsidi pupuk organik sebesar Rp. 10 Milyar yang mencakup 690 Subak/Kelompok Tani dengan luasan areal seluas 25.000 Ha untuk komoditi : padi, jagung, hortikultura dan kopi serta  melibatkan 25 unit lembaga penyalur.
  5. Pengembangan Desa Organik berbasis Tanaman Pangan, Hortikultura maupun Perkebunan. Sampai akhir Tahun 2018, tercatat 28 unit Desa Organik telah dikembangkan di Bali, dengan rincian : Desa organik berbasis tanaman pangan 6 Unit, Desa organik berbasis tanaman hortikultura 8 Unit, Desa organik berbasis tanaman perkebunan 14 Unit dan Pengembangan Agensia Hayati dan Pestisida Nabati.
  6. Pengembangan agensia hayati dilakukan dalam rangka pengendalian organisme pengganggu tumbuhan (OPT) secara biologis dengan mempergunakan musuh alami baik sebagai predator, agens antagonis, parasitoid maupun pathogen. Sedangkan pestisida nabati merupakan ekstraksi dari tumbuhan yang karena sifat bioaktifnya dapat dipergunakan sebagai pengedalian OPT. Kegiatan ini dilakukan oleh UPTD. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura dan UPTD. Balai Perlindungan Tanaman Perkebunan Provinsi Bali.
  7. Pelaksanaan Sertifikasi Pertanian Organik.  Sebagai muara akhir dari pengembangan pertanian organik adalah pelaksanaan kegiatan sertifikasi sebagai bentuk jaminan formal bahwa produk yang dihasilkan telah memenuhi standar pertanian organik. Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali setiap tahun selalu mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan sertifikasi bagi petani/kelompok tani binaan yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti kegiatan sertifikasi organik. Sebagai wujud nyata dari pengembangan pertanian organik di Bali, dari Tahun 2008 sampai Tahun 2018 telah tercatat 49 operator pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta 2 operator perkebunan organik di Bali yang telah memperoleh sertifikat organik dari lembaga sertifikasi organik (LSO), dengan berbagai komoditas seperti : padi, sayuran, tanaman hias, buah-buahan, jamur, jahe, kopi, kakao dan jambu mete.
  8. Pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang Sistem Pertanian Organik. Sebagai wujud keseriusan dalam pencapain visi Nangun Sat Kertih Loka Bali, Pemerintah Provinsi Bali juga telah menyusun Peraturan Daerah tentang Pertanian Organik. Hal ini dilakukan dalam menyiapkan payung  hukum pengembangan pertanian organik di Bali sehingga mampu memotivasi masyarakat untuk mengembangkan pertanian organik sehingga terwujudnya sistem pertanian berkelanjutan sekaligus terwujudnya keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Semua upaya tersebut akan dilakukan terus secara berkesinambungan untuk menjadikan Bali sebagai Pulau Organik (Organik Island), sekaligus mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) dan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (green economic) sesuai visi Nangun Sat Kertih Loka Bali.

V. PENUTUP

Dari uraian di atas, maka dapat ditarik beberapa pokok-pokok kesimpulan, yaitu :

  1. Sistem Pertanian Organik sesuai dengan pengertiannya sebagai manajemen produksi yang holistic untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agroekosistem dan menjaga keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas bilogi tanah, merupakan wujud dari pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) karena dalam proses produksinya selalu mengupayakan pemanfaatan sumberdaya alam sesuai dengan daya dukung alam, proses produksi dilalukan secara ramah lingkungan dan menekankan pelestarian dan konservasi sumber daya alam sehingga tetap produktif dalam jangka panjang
  2. Sistem Pertanian Organik sesuai dengan pengertiannya, juga sangat sesuai filosofi masyarakat Bali, yaitu : Tri Hita Karana  yang mengedepankan keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara : Tuhan, manusia dan alam.  Filosofi ini  juga menjadi landasan dari visi Pemerintah Provinsi Bali, yaitu : Nangun Sat Kertih Loka Bali, sehingga dengan demikian pengembangan sistem pertanian organik sangat sejalan dalam rangka mencapai visi dimaksud sekaligus terwujudnya Bali sebagai Pulau Organik (Organic Island).
  3. Menyadari bahwa Bali memiliki keterbatasan yang nyata terhadap sumber daya alam, maka Pemerintah Provinsi Bali menaruh perhatian serius dalam mengembangkan sistem pertanian organik dalam rangka menjaga kelestarian sumber daya alam Bali melalui berbagai program dan kegiatan, seperti : Penyusunan PERDA tentang Sistem Pertanian Organik sebagai payung hokum pengembangan pertanian organik di Bali, Pengembangan SIPADU, subsidi pupuk organik dan berbagai kegiatan lain untuk mendukung pengembangan pertanian organik sampai kepada proses sertifikasi sebagai wujud jaminan formal keorganikan produk yang dihasilkan.
  4. Pengembangan pertanian organik juga sebagai wujud dukungan atas implementasi Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali, yang mengamanatkan bahwa produk pertanian yang dipasarkan harus terjamin mutu dan keamanannya.