Pestisida Nabati Daun Kirinyuh untuk Pengendalian Ulat Grayak Pada Tanaman Sayuran

Oleh
Ir. I Putu Karyana, MMA
Penyuluh Pertanian Madya
Dinas Pertanian dan Katahanan Pangan Provinsi Bali

Dalam rangka kegiatan budidaya tanaman sayuran sebagaian besar petani masih menggunakan pestisida sintetis, dengan harapan agar menghasilkan/memproduksi sayuran yang berkualtas dan banyak hasilnya serta mendapatkan keuntungan yang cukup besar akan tetapi tidak memikirkan dampak lingkungan dan produksi sayuran yang dihasilkan bagi tanah sebagai media tanam dan kesehatan manusia sebagai konsumen akhir.

Sedangkan Bali saat ini mulai menggunakan pupuk maupun pestisida non sintetis dalam berbudidaya tanaman baik tanaman pangan maupun  hortikultura  dan lebih-lebih Bali telah memiliki Regulasi berupa Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2019 di bidang sistem Pertanian organik, sehingga diharapkan ke depan para petani dalam berbudidaya tanaman secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Tanpa disadari bahwa bahan  kimia beracun yang berasal dari pupuk maupun  pestisida tersebut yang masuk kedalam tubuh seseorang  tanpa menimbulkan rasa sakit yang mendadak dan mengakibatkan keracunan kronis yang akan terlihat setelah waktu yang lama dapat berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Keracunan kronis akibat pestisida saat ini yang paling penting dikuti adalah  efek racun  dapat bersifat karsiogenic (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenic (kerusakan genetic untuk generasi yang akan datang) teratogenic (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan).

Salah satu hama yang kerap kali mengganggu pertumbuhan tanaman adalah ulat grayak (Spodoptera Litura F ) adalah hama serangga yang sulit dikendalikan  perkembangbiakannya cepat serta mempunyai kisaran inang yang luas.

Menurut Marwoto dan Suharsono (2008) ulat grayak bersifat polifag atau dapat menyerang berbagai jenis tanaman baik tanaman pangan maupun hortikultura dan hama ini tersebar luas di daerah beriklim panas dan lembab dari subtropis  sampai tropis.

Pertanian masa depan yang ideal seharusnya memadukan teknologi tradisional dan teknologi modern yang diaktulisasikan sebagai pertanian yang berwawasan lingkungan. Salah satunya pengembangan pestisida berwawasan lingkungan yaitu dengan menggunakan pestisida berwawasan lingkungan yaitu dengan menggunakan pestisida nabati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan salah satunya yang banyak tumbuh di lapangan adalah tumbuhan Kirinyuh(Chromolaena odorata L ).           Menurut Kardinan (1998) tumbuhan Kirinyuh mengandung Pryrrolidzine alkaloids yang bersifat racun bagi serangga.

Tumbuhan Kirinyuh (Chromolaena odorata L)

Tumbuhan Kirinyuh (Chromolaena odorata L) dalam bahasa Inggrisnya disebut Siam weed, gulma ini berupa semak berkayu yang dapat berkembang dengan cepat dan membentuk kelompok tumbuhan yang dapat mencegah perkembangan dan merugikan pertumbuhan tanaman lainnya. Demikian juga tumbuhan ini merupakan pesaing agresif dan memiliki efek allelopati yang dapat menyebabkan keracunan bahkan kematian ternak serta dapat menimbulkan bahaya kebakaran (Prawiradiputra 2007). Dengan adanya keberadaan kandungan dalam tumbuhan kirinyuh tersebut, maka sangat efektif untuk dibuat ekstraksi sebagai bahan baku pestisida nabati untuk penanggulangan OPT (Organisme Pengganggu Tumbuhan ) seperti hama ulat Grayak (Spodoptera Litura F).
Sebagai contoh perlakuan pada tanaman sayuran Sawi hijau/Pakcoy dengan tahapan perlakuan penggunaan ekstrak daun Kirinyuh sebagai berikut :

  1. Persiapan Media Tanam
    Media tanam yang digunakan adalah polybag yang diisi dengan campuran tanah dengan arang sekam dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1,
  2. Penanaman
    Menggunakan benih tanaman yang telah berumur selama 7 hari/berdaun3-5 helai, kemudian dipindahkan ke dalam polybag yang sudah disiapkan. Kemudian dilakukan penyiraman 2 kali sehari, yaitu setiap pagi (07.00) dan sore (17.00). Perlakuan penggunaan ekstrat daun kirinyuh ini dimulai saat tanaman sawi hijau/pakcoy berumur 30 hari
  3. Pembuatan Ekstraksi Daun Kirinyuh
    Daun Kirinyuh yang dipilih sebagai bahan ekstraksi adalah daun yang sehat, dari segi fisik tidak rusak atau bebas dari serangan hama, memiliki warna daun hijau tua pekat. Daun Kirinyuh yang digunakan adalah daun yang tidak muda atau tidak terlalu tua. Pemilihan daun kirinyuh untuk ekstraksi yaitu dengan cara memilih daun kirinyuh pada lembar ke 4-6 dari pucuk. Daun Kirinyuh sebanyak 1000 gram dicuci bersih kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan hingga kadar air mencapai 10% atau dapat hancur ketika diremas (Diniatik dkk, 2016) dan dipotong kecil-kecil.
    Potongan daun kirinyuh kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender kemudian disimpan diwadah yang tertutup rapat. Menurut Syah dan Kristanti (2016) daun kirinyuh yang telah halus diekstrak dengan menggunakan pelarut etanol 70% dengan perbandingan 1: 5 (10 gram serbuk dengan 50 ml etanol) sampai semua metabolit terekstraksi.
    Cara ekstraksi dilakukan dengan cara merendam daun kirinyuh yang telah halus selama 1, 3, 5, 7 dan 9 hari dan dilakukan pengadukan sebanyak 2 kali dalam selang waktu 12 jam (Dewi dkk, 2016). Setelah dilakukan perendaman, kemudian disaring menggunakan corong buchener dan diuapkan dengan rotary vacum evaporator. Penggunaan alat Rotary vacum evaporator ini bertujuan untuk mengentalkan ekstrak pada tekanan rendah dan temperatur 40°C sehingga diperoleh ekstrak kental etanol. Ektrak murni yang telah dihasilkan dapat disimpan di lemari pendingin sampai digunakan untuk proses pengujian.
  • Perlakuan ekstrak daun kirinyuh terhadap Ulat Grayak (Spodoptera Litura F.)

Menyiapkan beberapa konsentrasi ekstak daun kirinyuh yaitu 15%, 20%, 25%, 30%, 35%, 40% serta kontrol (tanpa perlakuan). Pengenceran dilakukan seperti tabel dibawah ini :

            Tabel. Pengaruh Variasi waktu Perendaman Terhadap Hasil Rendeman

Tabel diatas menunjukan bahwa kadar rendemen maksimun didapatkan pada waktu perendaman 7 hari yaitu 9,25% dan rendemen minimun didapatkan pada waktu perendaman 1 hari yaitu 7,30%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama bahan direndam semakin tinggi rendemen yang dihasilkan karena kesempatan bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar (Anggi dkk, 2013)

2. Perhitungan Mortalitas (Kematian) Ulat Grayak

Setelah dilakukan pengenceran, kemudian pestisida nabati dari daun kirinyuh disemprotkan pada tanaman sayuran pakcoy sesuai konsentrasi yang telah ditentukan. Setiap tanaman sawi hijau/pakcoy berisi 30 ekor ulat grayak. Setiap polybag tanaman disungkup dengan kain kasa untuk menghindari adanya migrasi hama antar perlakuan. Pengaplikasian ekstrak daun kirinyuh dilakukan setelah ulat grayak telah beradaptasi dengan lingkungan. Variabel pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah hama yang mati yang dilakukan dengan interval waktu 12 jam sampai 84 jam. Mortalitas ulat grayak dapat dihitung dengan cara:

Tabel.  Pengaruh Konsentrasi Terhadap Mortalitas (Kematian) Ulat Grayak

Dari tabel diatas, maka diperoleh hasil yaitu mortalitas ulat grayak cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kandungan ekstrak daun kirinyuh (Chromolaena Odorata L.). Setelah perlakuan 84 jam, tidak terjadi peningkatan mortalitas. Sehingga didapatkan hasil mortalitas maksimun yakni kode G dengan konsentrasi daun kirinyuh 40%  dalam kurun waktu 84 jam memiliki jumlah mortalitas terbanyak yakni 70%. Sementara hasil mortalitas pada kode A dalam kurun waktu 84 jam memiliki jumlah mortalitas paling sedikit yakni 5,56%.

Kesimpulan :

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa : (1) Daun kirinyuh (Chromolaena Odorata L.) merupakan tumbuhan yang tidak sulit mendapatkannya karena melimpah keberadaan dilapangan namun belum dimanfaatkan secara optimal, (2) Daun Kirinyuh (Chromolaena Odorata L.) mengandung senyawa aktif yang bersifat racun terhadap serangga, salah satunya pryrrolizidine alkaloids, sehingga dapat dijadikan sebagai pestisida nabati yang ramah lingkungan,  (3) Semakin lama bahan direndam semakin tinggi rendemen yang dihasilkan karena kesempatan bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar, (4) Mortalitas/Kematian ulat grayak cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah kandungan ekstrak daun kirinyu (Chromolaena Odorata L.).

Saran :

Adapun saran yang dapat disampaikan bahwa masih perlu dilakukan pengujian lebih mendalam agar dapat menghasilkan tanaman yang unggul dengan cara yang sehat dan ramah lingkungan. Selain itu, dibutuhkan kerjasama antar pihak teknis terkait untuk merealisasikan penelitian ini lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arinafril dan P. Muller. 1999. Aktivitas biokimia ekstrak mimba terhadap perkembangan Plutella xylostella. hlm. 381-386. Prosiding Seminar Nasional: Peranan Entomologi dalam Pengendalian Hama yang Ramah Lingkungan dan Ekonomis. Perhimpunan Entomologi Indonesia

2.  Asikin, S. dan M. Thamrin. 2006. Pengendalian hama serangga sayuran ramah lingkungan di lahan rawa pasang surut. hlm. 73-86. Dalam M. Noor, I. Noor, dan S.S. Antarlina (Ed). Sayuran di Lahan Rawa: Teknologi Budi Daya dan Peluang Agribisnis. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor.

3.  Dewi, P.J.N., A. Hartiati., S. Mulyani. 2016. Pengaruh Umur Panen dan Tingkat Maserasi Terhadap Kandungan Kurkumin dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kunyit (Curcuma Domestica Val.). Rekayasa dan Manajemen Agroindustri, 4(2) : 101-111

4.    Kardinan, A. 1998. Prospek penggunaan pestisida nabati di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 17(1): 1-8.

5.    Kalvin, A., Irfhan,M., 2013. Pembuatan Pestisida Organik Menggunakan Metode Ekstraksi Dari Sampah Daun Pepaya Dan Umbi Bawang Putih. Fakultas Teknik Universitas Riau. Kardinan, Agus. (1999). Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.

6.    Marwoto dan Suharsono. 2008. Strategi dan komponen teknologi pengendalian ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) pada tanaman kedelai. Jurnal Litbang Pertanian 27(4): 131-136

7.    Prawiradiputra, B.R. 2007. Kirinyu (Chromolaena odorata (L.) R.M. King dan H. Robinson: Gulma padang rumput yang merugikan. Bulletin Ilmu Peternakan Indonesia (WARTAZOA), 17(1): 46-52.

8.    Sastroutomo, S. S. (1992) : Pestisida, Jakarta, Gramedia pustaka Utama, 186 hal.

9. Sipayung, A., R.D. de Chenon, and P.S. Sudharto. 1991. Observations on Chromolaena odorata (L.) R.M. King and H. Robinson in Indonesia. Second International Workshop on the Biological Control and Management of Chromolaena odorata. Biotrop, Bogor.

10. Syah, B. W., Kristanti. I P. 2016. Pengaruh Ekstrak Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi) Terhadap Mortalitas dan Perkembangan Larva Spodoptera litwura. Sains dan Seni ITS, 5(2) : 23-29