Salak Bali, atau yang dikenal secara lokal sebagai Salacca zalacca, adalah salah satu komoditas pertanian unggulan Pulau Bali. Tidak hanya memiliki nilai ekonomis, salak Bali juga telah diakui sebagai bagian dari warisan pertanian dunia oleh FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia). Pengakuan ini merupakan bagian dari program FAO yang disebut Sistem Warisan Pertanian Penting Dunia atau GIAHS (Globally Important Agricultural Heritage System) yang berarti Sistem Warisan Pertanian Penting Secara Global. GIAHS merupakan pengakuan global terhadap praktik pertanian berkelanjutan yang diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat lokal yang mengakui praktik pertanian tradisional yang berkelanjutan dan mendukung keanekaragaman hayati.

Budidaya salak di Bali telah dilakukan secara turun-temurun dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat, terutama di Kabupaten Karangasem, daerah utama penghasil salak di Bali. Sejak ratusan tahun yang lalu, petani di daerah ini sudah mengembangkan teknik budidaya salak yang ramah lingkungan dan menjaga keseimbangan alam.
Salak Bali ditanam di lahan-lahan pertanian tradisional dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip kearifan lokal, seperti Tri Hita Karana, yang berfokus pada keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan. Filosofi ini tercermin dalam cara para petani mengelola lahan pertanian mereka dengan memperhatikan konservasi air, pengendalian hama secara alami, serta penggunaan pupuk organik.

Salak Bali memiliki sejumlah karakteristik unik yang membedakannya dari salak jenis lainnya, seperti Salak Pondoh dari Yogyakarta atau Salak Sidempuan dari Sumatra. Buah salak Bali memiliki kulit yang lebih besar, berwarna coklat kehitaman, dengan daging buah yang tebal, bertekstur renyah, dan rasanya manis sedikit asam.
Ada beberapa varietas unggul dari salak Bali, seperti Salak Gula Pasir yang sangat terkenal karena rasanya yang sangat manis dan teksturnya yang halus. Keunikan ini menjadikan salak Bali populer di kalangan wisatawan, dan sering kali dijadikan oleh-oleh khas saat berkunjung ke Bali.
Pengakuan FAO terhadap sistem pertanian salak Bali melalui program GIAHS merupakan apresiasi terhadap praktik-praktik pertanian tradisional yang berkelanjutan dan mendukung ketahanan pangan. Dalam hal ini, pertanian salak Bali dinilai berhasil mengintegrasikan aspek-aspek ekologi, sosial, dan budaya dalam satu sistem yang harmonis. Seperti yg kita ketahui Petani salak Bali tidak menggunakan pestisida atau pupuk kimia secara berlebihan, melainkan menggunakan teknik alami untuk mengendalikan hama dan menjaga kesuburan tanah. Misalnya, mereka memanfaatkan bahan organik seperti pupuk kandang dan kompos dari sisa-sisa tanaman.

Salah satu tantangan utama dalam budidaya salak adalah manajemen air, terutama pada musim kemarau. Petani di Karangasem telah lama menggunakan sistem irigasi tradisional, yang dikenal sebagai subak, untuk menjaga suplai air tetap stabil bagi tanaman mereka. Budidaya salak Bali tidak hanya terbatas pada satu varietas saja. Petani di Bali menjaga keanekaragaman genetik tanaman salak dengan menanam berbagai varietas lokal, yang membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap perubahan iklim dan serangan hama. Lahan pertanian salak di Bali sering kali digabungkan dengan tanaman lainnya, seperti pisang dan kelapa, yang tidak hanya membantu mengurangi risiko gagal panen, tetapi juga meningkatkan keseimbangan ekosistem setempat.
Pengakuan FAO ini memberikan sejumlah manfaat positif bagi para petani di Bali. Selain meningkatkan kebanggaan dan kesadaran akan pentingnya melestarikan praktik pertanian tradisional, pengakuan ini juga membantu membuka peluang baru di sektor pariwisata dan pemasaran produk salak. Dengan adanya pengakuan dari FAO, banyak wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi kawasan pertanian salak di Karangasem. Hal ini memberikan peluang bagi petani lokal untuk mengembangkan agrowisata, di mana wisatawan dapat melihat langsung proses budidaya salak serta mencicipi buah-buahan segar. Pengakuan internasional juga meningkatkan citra produk salak Bali di pasar global, sehingga permintaan terhadap produk ini semakin meningkat, baik dari pasar lokal maupun internasional. Hal ini membuka peluang ekspor yang lebih besar bagi petani dan pengusaha di Bali.


Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali semapt mengungkapkan bahwa, salak bali dalam hal ini telah memiliki status sebagai warisan pertanian dunia, para petani salak di Bali juga mendapat dukungan dalam bentuk pelatihan dan pendampingan dari pemerintah maupun organisasi internasional, sehingga mereka dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen.
Meskipun telah diakui secara internasional, budidaya salak Bali masih menghadapi sejumlah tantangan, seperti perubahan iklim, degradasi lahan, dan fluktuasi harga di pasar. Namun, dengan dukungan yang semakin besar dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, FAO, dan masyarakat, diharapkan budidaya salak Bali dapat terus berkembang secara berkelanjutan. Hal ini akan memastikan bahwa warisan pertanian salak Bali tetap lestari, tidak hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga sebagai warisan budaya yang berharga.
Budidaya salak Bali yang telah diakui FAO sebagai warisan pertanian dunia bukan hanya mengakui nilai ekonomis dari buah eksotis ini, tetapi juga penghargaan terhadap sistem pertanian tradisional yang mendukung keberlanjutan lingkungan dan pelestarian budaya lokal. Dengan pendekatan yang bijak terhadap lingkungan, integrasi teknologi dengan kearifan lokal, serta dukungan dari berbagai pihak, budidaya salak Bali memiliki potensi besar untuk terus menjadi ikon pertanian berkelanjutan di Indonesia dan dunia.