Polemik Isu Pemborosan Pangan (FOOD LOSS dan FOOD WASTE)

Oleh:
Ir. Ni Wayan Suarni, M.Si.
Analis Ketahanan Pangan Ahli Madya

Pernahkah kita berpikir saat makan dan menyisakan sedikit atau banyak sangat berpengaruh terhadap lingkungan? Ada berbagai macam faktor yang mempengaruhi kebiasaan menyisakan makanan yaitu faktor internal (keadaan psikis, fisik, kebiasaan makan, usia, jenis kelamin, dan pekerjaan) dan faktor eksternal (mutu makanan, ketepatan waktu penyajian, dan keramahan penyajian). Makanan yang terbuang akan menjadi limbah dan menjadi sebuah permasalahan serius yang harus kita hadapi karena dapat menimbulkan berbagai kerugian, salah satunya bagi lingkungan dan juga ketahanan pangan. Dan isu yang diprediksi terjadi di tahun – tahun mendatang adalah pengelolaan lingkungan dan kerawanan pangan. Syarat tercapainya ketahanan pangan suatu wilayah adalah adanya ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup dan memenuhi persyaratan gizi bagi penduduk.

Mungkin kita lebih sering mendengar istilah food waste yang merujuk pada limbah makanan yang dikategorikan menjadi dua macam, yaitu Food Loss dan Food Waste. Food Loss merupakan makanan yang mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh berbagai faktor selama prosesnya dalam rantai pasokan makanan sebelum menjadi produk akhir dan ini biasanya terjadinya pada tahap produksi, pasca panen, pemrosesan, hingga distribusi dalam rantai pasokan makanan. Dapat diibaratkan misalnya hama menyerang tanaman atau cuaca buruk yang dapat merusak hasil panen. Kemudian ketika diangkut dalam proses distribusi, makanan juga bisa menjadi rusak sehingga tidak layak untuk dikonsumsi. Sementara, Food Waste adalah makanan yang telah melewati rantai pasokan makanan hingga menjadi produk akhir, berkualitas baik, dan layak dikonsumsi, tetapi tetap tidak dikonsumsi dan dibuang. Makanan yang dibuang ini termasuk yang masih layak ataupun dibuang karena sudah rusak. Food waste biasanya terjadi pada tingkat ritel dan konsumen. Misalnya, adalah makanan yang tersisa di piring dan makanan yang sudah kadaluarsa (Envihsa, FKM UI 2022).

SECARA GLOBAL

Menurut Data United Nation Environment Programme (UNEP), jumlah susut pangan (food loss) dan sampah makanan (food waste) dikalkulasikan mencapai 1,3 Milyar Ton yang terdiri dari makanan yang sebetulnya masih layak konsumsi. Setara dengan 1/3 pangan yang diproduksi untuk dikonsumsi penduduk dunia. Dengan rincian bahwa komposisi sampah yang paling tinggi berasal dari rumah tangga, sebagai berikut :

Sumber : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,2022 (dikutip dari : https://dataindonesia.id )

Sampah yang dihasilkan berdasarkan sumber paling dominan adalah dari rumah tangga dibandingkan dengan sampah plastik yang dihasilkan dari perniagaan/pasar. Masalah sampah makanan kini menjadi ironi dalam isu-isu ekonomi, sosial dan lingkungan, dan Indonesia adalah salah satu negara yang berkomitmen untuk mendukung pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs) Tahun 2030 (Poin ke-12) yaitu pengurangan separuh Food Waste dan target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai Paris Agreement pada tahun 2030. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan mengarusutamakan tujuan, sasaran, dan indikator SDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 dan menjadikan Pembangunan Rendah Karbon (Low Carbon Development) menjadi salah satu program prioritas pada Prioritas Nasional 6 (membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana, dan perubahan iklim).

Sumber : Data The Economist Intelligence, 2021

Rata-rata emisi GRK yang ditimbulkan dari 1 ton food waste = 4,3 kali lipat dari food loss.

Dari kelima tahapan rantai pasok pangan, penyumbang terbanyak emisi gas ini berasal dari tahap konsumsi.  Lebih miris lagi menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019, Indonesia masih berhadapan dengan masalah stunting pada balita yang mencapai lebih dari delapan juta anak. BPS juga mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2021 lalu ada pada angka 26,50 juta jiwa (Data Bappenas, 2021).

Bagaimanakah Dengan Provinsi Bali?

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, Provinsi Bali menghasilkan 915,5 ribu ton timbulan sampah sepanjang tahun 2021. Dari jumlah itu, jenis sumber sampah terbanyak dengan proporsi mencapai 65,1% adalah rumah tangga. Sumber sampah terbanyak di Bali selanjutnya dari pasar dengan proporsi 27,97% dan kemudian sumber sampah dari kawasan 3,29%.

Sumber : SIPSN – Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, 2021

Berdasarkan sumber sampah yang  sebelumnya telah dipublikasikan oleh  Kementerian  Lingkungan Hidup Dan Kehutanan melalui Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional tahun 2021, bahwa beberapa hal yang menjadikan sumber sampah dari rumah tangga ini meningkat. Adapun beberapa gambaran pola konsumsi masyarakat yang boros terhadap pangan yang diambil dari materi bahan ajar Konguan, dalam rangka Hari Pangan Sedunia yang dipaparkan pada 14 November 2022, antara lain :

  1. Masyarakat masih menganggap hal sepele bila menyisakan sedikit makanan.  Contoh kecil, misalnya bila kita menyisakan 1 butir nasi setiap kali makan. Dalam 1 kg beras itu ada ±50 ribu butir. Jika sehari menyisakan 1 butir nasi dengan tiga kali makan, itu sudah membuang pangan kira-kira 21.2 kg/hari atau 7.74 ton per tahun. Ini kalau   dibuang 1 butir nasi setiap kali makan. Faktanya, biasanya lebih dari 1 butir nasi terbuang. Betapa mubadzirnya. Sesuai dengan kajian FLW 2021, nasi adalah jenis sisa makanan terbuang yang paling   rutin dilaporkan. Rata-rata dalam 4 dari 7 hari ada nasi yang terbuang sebanyak ½ – 8 sendok makan. Umumnya sisa nasi ini berasal dari proses penyimpanan dalam rice cooker/penghangat nasi yang memang cenderung membuat nasi di dinding wadah lebih cepat mengering.
  2. Olahan sayuran ada di posisi kedua yang paling sering terbuang kemudian urusan penyimpanan makanan juga menjadi salah satu masalah sejuta umat.  Meskipun sisa makanan yang tak dihabiskan bisa disimpan kembali di kulkas untuk dikonsumsi lagi di hari yang akan datang, selalu ada kemungkinan niatan itu tidak terwujud. Tergantung dari jenisnya, masa simpan makanan dalam kulkas biasanya hanya bertahan 3–30 hari atau 3 bulan jika disimpan dalam freezer. Tetapi jangka waktu ini tidak berlaku untuk sayuran mentah maupun olahan. Dari kandungan gizi, sayuran matang yang dipanaskan berulang akan mengalami penguraian nutrisi, dan proses pengukusan/perebusan ulang akan mempengaruhi teksturnya. Alhasil, menu sayur olahan lebih sering dibuang.
  3. Sayuran mentah pun tidak semuanya awet jika disimpan dalam kulkas. Teknik penyimpanan tanpa persiapan (meal preparation) juga mempercepat pembusukan. Sayangnya, tidak semua aktor rumah tangga punya pengetahuan yang cukup  tentang apa saja yang perlu dilakukan untuk menjaga ketahanan sayuran yang disimpan. Kalaupun tahu, tidak banyak yang cukup telaten atau disiplin  melakukannya. Inilah yang akhirnya berkontribusi pada banyaknya makanan yang terbuang saat jadwal bersih-bersih kulkas tiba.

Dari gambaran pola konsumsi masyarakat secara umum Food waste berkontribusi dalam peningkatan emisi gas CO2 akibat penumpukan  limbah makanan di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang merupakan salah satu penyebab terjadinya global warming. Sebagian besar emisi gas yang dihasilkan berbentuk gas metana, yang potensinya 25 kali lebih tinggi daripada karbondioksida dalam meningkatkan pemanasan global. Food waste juga menyebabkan permborosan 70% air dunia yang digunakan selama proses  bertani dan juga menyebabkan pemborosan jutaan galon minyak bumi yang digunakan selama proses bertani hingga distribusi makanan ke tangan konsumen. (Move for Hunger, 2015 Rahmatika 2020), serta Zat organik dalam sampah makanan yang tidak diolah dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (Fadhilah & Yudihanto, 2013 Hendriadi dan Ariani, 2020).

Upaya yang dilakukan bagi yang bersinggungan dengan Food Loss dan Food Waste ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari produsen sampai dengan konsumen. Keterlibatan pemerintah juga memiliki peranan penting dalam edukasi produksi dan konsumsi pangan. Hal – hal yang dalam upaya mengurangi dampak FLW dengan pemanfaatan sisa makanan atau pemilihan kualitas pangan yang aman dikonsumsi dan efisien dalam pengemasannya. Dengan gambaran seperti ini besar harapan Pemerintah Provinsi Bali ingin melaksanakan rencana aksi dengan telah dikeluarkannya Peraturan Gubernur Bali No. 47 Tahun 2019, Kampanye dan Sosialisasi secara Intensif, yang diarahkan untuk :

  • membangun kesadaran masyarakat dan diharapkan mampu mengajak masyarakat untuk mengubah budaya perilaku boros konsumsi pangan.
  • dapat diarahkan dengan memanfaatkan ajaran agama atau tradisi/kearifan lokal atau kepedulian.
  • melalui media eletronik, radio, social media
  • pembagian poster, leaflet

Serta penanggulangan sisa sampah makanan dengan pemanfaatan kompos juga ketersediaan Bank Pangan untuk mengantisipasi kerawanan pangan di daerah Kabupaten/Kota Provinsi Bali.