Peran serta Desa Adat di Bali dalam Mengurangi Food Loss and Waste (FLW)

Oleh:
I Wayan Suarjana, S.TP
Analis Pasar Hasil Pertanian-Ahli Pertama
Bidang Pascapanen, Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian

Food loss and waste (FLW) secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penurunan kuantitas pangan yang dipengaruhi oleh penanganan pangan yang tidak tepat. Penurunan kuantitas pangan dapat terjadi disepanjang rantai pasok pangan yang dimulai dari tahap produksi, pascapanen-penyimpanan, pengolahan-pengemasan, distribusi-pemasaran sampai di ujung rantai pasok yakni tahap konsumsi. Menurut laporan studi Food Loss and Waste Regional West Java, Central Java and Bali (2023) rentangan food loss terjadi dari tahap produksi sampai dengan pengolahan dan pengemasan pangan. Sedangkan food waste dimulai dari tahapan distribusi dan pemasaran sampai dengan tahap konsumsi. Data Kementerian BAPPENAS (2021) menunjukkan pada rentang waktu 2000-2019 timbulan food loss and waste di Indonesia tercatat 115-184 Kg/kapita/tahun yang didominasi pada tahap konsumsi.

Source : suara.surabaya

Bali merupakan salah satu dari tiga provinsi di tanah air yang menjadi sampel kajian yang dilakukan oleh Kementerian BAPPENAS terkait dengan isu Food Loss and Waste. Pemilihan Bali sebagai sampel kajian merupakan hal yang sangat positif sebagai langkah evaluasi baik untuk pemerintah maupun masyarakat dalam melakukan pengelolaan pangan yang lebih baik. Sebagai daerah yang masih kental dengan adat, budaya dan Agama Hindu, Bali memiliki pranata sosial yang telah ada sejak zaman dahulu yang dikenal dengan Desa Adat. Hubungan sosio-religius menjadi roh dan nafas pranata sosial ini dalam fungsinya sebagai perekat dan pemersatu masyarakat adat di Bali. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, desa adat dilengkapi oleh berbagai kelengkapan diantaranya 1) Awig-awig yakni sumber hukum adat tertulis dalam pemerintahan desa adat, 2) Tradisi yakni kebiasaan-kebiasaan disuatu desa adat (biasanya tidak tertulis) yang dijalankan secara turun temurun, 3. Pengurus/pejabat di desa adat yang terdiri dari bendesa, petajuh, petengen dan penyarikan, 4) Pura Kahyangan tiga (Puseh, Desa dan Dalem) sebagai manifestasi hubungan masyarakat adat di Bali dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa.             Pranata sosial desa adat memiliki peran sentral dalam menjaga eksistensi budaya dan Agama Hindu di Bali. Warga masyarakat di Bali cenderung sangat taat dengan keputusan-keputusan di desa adat yang didasari oleh rasa kepercayaan dan persatuan. Merujuk pada kondisi tersebut, pemerintah pusat maupun daerah dapat berkolaborasi dengan desa adat di Bali dalam memasyarakatkan berbagai strategi mengurangi food loss and waste (FLW). Menurut data Kementerian BAPPENAS (2021) terdapat lima (5) penyebab dan pendorong utama FLW di Indonesia yang mana salah satunya adalah kurangnya informasi/edukasi pekerja pangan dan konsumen. Informasi maupun edukasi yang minim menyebabkan pemahaman masyarakat terhadap isu food loss and waste masih jauh dari harapan. Salah satu dari lima arah kebijakan strategi pengelolaan FLW di Indonesia yakni Perubahan perilaku masyarakat (Kementerian BAPPENAS, 2021). Perubahan perilaku masyarakat dapat dilakukan dengan mengubah pola pikir dan tindakan masyarakat melalui peningkatan pengetahuan terkait dengan FLW yang dimulai dari tingkat rumah tangga.

Parum Desa Adat
Sumber: ista-desa-buleleng.id

Eksistensi desa adat telah diakui secara resmi oleh pemerintah dengan terbitnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pelibatan desa adat melalui wadah MDA (Majelis Desa Adat) Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota memiliki nilai strategis dalam memastikan strategi yang disusun oleh Kementerian BAPPENAS dapat sampai ke masyarakat Bali dengan baik dan tepat sasaran. Strategi-strategi untuk menekan food loss and waste (FLW) yang disusun oleh pemerintah pusat dapat dimasyarakatkan melalui pranata sosial desa adat ini. Selain itu, dalam jangka panjang komitmen mengurangi food loss and waste dapat dimasukkan ke dalam aturan tertulis desa adat (awig-awig) sehingga memiliki kekuatan yang lebih mengikat masyarakat adat di Bali. Namun demikian, walaupun strategi tersebut belum secara eksplisit disebut dalam awig-awig desa adat namun di beberapa desa adat di Bali telah menerapkan aturan tidak tertulis yang mendukung upaya menekan FLW ini. Salah satu diantaranya yakni membuat kesepakatan dengan warga masyarakat adat untuk membuat sesajen yang akan dihaturkan ke Pura dengan dimensi yang sama sehingga dapat mengefisienkan bahan baku tanpa mengurangi nilai dan esensi dari persembahan tersebut.

            Menurut Prof. Wayan P. Windia (2017) setidaknya terdapat 1.488 desa adat di Bali yang tergabung dalam majelis desa adat di Bali. Melihat jumlah desa adat yang sedemikian banyak, maka efektifitas pelibatan desa adat dalam berbagai upaya menurunkan food loss and waste (FLW) akan lebih baik daripada tidak melibatkan unsur desa adat. Peran dan fungsi desa adat dalam mendukung penurunan food loss and waste (FLW) yakni sebagai berikut:

  1. Desa adat dapat menjadi partner diskusi pemerintah sekaligus sumber informasi terkait berbagai strategi untuk menekan terjadinya food loss and waste (FLW);
  2. Desa adat dapat berperan penting untuk ikut serta dalam mensosialisasikan kebijakan dan strategi pemerintah dalam menurunkan food loss and waste (FLW) kepada masyarakat adat di Bali;
  3. Desa adat dengan berbagai kelengkapannya dapat memasukkan atau mengadopsi kebijakan pemerintah dalam kaitan penurunan food loss and waste (FLW) ke dalam awig-awig dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat di desa bersangkutan.

Referensi:

Keberadaan Desa dan Adat di Bali Serta Peranan Bendesa Adat yang disajikan oleh Prof. Wayan P. Windia (Dosen Hukum Adat Bali Fakultas Hukum Universitas Udayana) pada Pelatihan Kebendesaan yang diselenggarakan oleh Prodi Hukum Hindu, Jurusan Dharma Sastra STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja, Tanggal 3 Juni 2017.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2021. Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia dalam Rangka Mendukung Penerapan Ekonomi Sirkular dan Pembangunan Rendah Karbon.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa