Ulasan: Krisis Iklim Ancam 2 Komoditas Andalan Indonesia, Beras dan Kopi

Oleh:
I Wayan Suarjana, S.TP
Analis Pasar Hasil Pertanian Ahli Pertama

Indonesia merupakan negara tropis yang terletak di antara dua samudera dan dua benua yang menyebabkan Indonesia memiliki posisi strategis pada jalur perdagangan dunia. Posisi strategis ini, didukung pula oleh iklim tropis dan tanah vulkanis yang subur sehingga menjadikan Indonesia sebagai produsen sekaligus pasar strategis bagi berbagai komoditas pertanian. Berbagai jenis komoditas pertanian dalam arti luas dibudidayakan dan dipasarkan di Indonesia baik komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan maupun peternakan. Namun demikian, sektor pertanian Indonesia tidak lepas dari berbagai tantangan baik di sektor hulu maupun hilir.

Sumber : detik.com

Beras dan Kopi merupakan dua komoditas sub sektor tanaman pangan dan perkebunan yang sangat penting bagi Indonesia. Beras merupakan komoditas primer bagi masyarakat Indonesia, mengingat beras menjadi sumber karbohidrat utama masyarakat Indonesia saat ini. Produksi beras Indonesia dalam tiga tahun terakhir menurut data Badan Pusat Statistik (2023) terlihat mengalami fluktuasi dimana produksi beras tahun 2020 sebanyak 54.649.202,24 ton, kemudian menurun menjadi 54.415.294,22 ton pada tahun 2021, kemudian meningkat menjadi 55.670.219,00 pada 2022. Besarnya jumlah produksi tidak selalu mampu memenuhi permintaan pasar yang ada, hal ini dibuktikan oleh impor beras yang masih dilakukan oleh pemerintah melalui pihak terkait. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai hal salah satunya tingkat konsumsi beras per kapita masyarakat Indonesia yang cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun.

Kontribusi sektor perkebunan terhadap PDB yakni 3,94% pada tahun 2021 menurut Badan Pusat Statistik yang termuat dalam publikasi Statistik kopi Indonesia 2021. Kopi merupakan salah satu unggulan ekspor sektor perkebunan Indonesia di pasar internasional. Indonesia merupakan negara peringkat empat penghasil biji kopi terbesar di dunia setelah Brasil, Vietnam dan Kolombia. Kopi menjadi komoditas perkebunan yang mampu menghasilkan devisa bagi negara, menyerap tenaga kerja dan mampu menggerakkan perekonomian masyarakat. Kopi di Indonesia sebagian besar dihasilkan oleh perkebunan rakyat yang didominasi oleh masyarakat yang tinggal di daerah perdesaan. Dalam publikasi Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2022 dicatat kontribusi perkebunan rakyat (PR) sebesar 98,14% terhadap total produksi di tahun 2020. Produksi kopi di Indonesia diperkirakan sebanyak 793.193 ton pada tahun 2022 dengan produktifitas 832 Kg/Ha. Provinsi-provinsi yang menjadi sentra produksi kopi di Indonesia antara lain: Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan NTT.

Perubahan iklim membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan mahluk hidup termasuk manusia yang sangat bergantung pada kondisi alam. Terdapat sedikitnya 7 (tujuh) dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim global antara lain: 1) perubahan suhu bumi, 2) menyebabkan badai destruktif, 3) kekeringan, 4) kenaikan permukaan air laut, 5) menyebabkan kepunahan beberapa jenis spesies yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat, 6) mengganggu pasokan pangan, dan 7) meningkatkan risiko kesehatan. Berbagai jenis dampak perubahan iklim diatas tentu akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap sektor primer (pertanian). Penanggulangan dampak perubahan iklim yang tidak optimal berpotensi menyebabkan gejolak dalam upaya penyediaan pangan bagi masyarakat terutama pada komoditas beras dan kopi. lebih jauh, jika dilihat dari sisi ekonomi maka tantangan ini akan terus menekan nilai ekonomi beras maupun kopi Indonesia.

Sumber : mongabay.com

Perubahan suhu bumi (kenaikan suhu) berkorelasi erat dengan kenaikan muka air laut yang berimplikasi pada semakin berkurangnya lahan pertanian produktif (sawah). Hal ini didukung oleh pendapat  kopp et al. 2017; Strauss et al.2021 menyatakan bahwa berdasarkan skenario jika terjadi kenaikan muka air laut setinggi 1 meter maka 134.509 Ha sawah terancam tenggelam dimana 51% diantaranya berada di Pulau Jawa. Diperkirakan, areal sawah seluas itu mampu menghasilkan beras sebanyak 1 juta ton yang dapat memberi makan sejumlah 5 juta orang. Selain berkurangnya luasan tanam dan panen, kenaikan muka air laut dapat menyebabkan menurunnya produktifitas padi dikarenakan tingkat salinitas air yang tinggi. Bagaimana pun juga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dibutuhkan untuk menciptakan sektor pertanian yang adaptif dengan kondisi diatas. Selain itu, lahan sawah yang terletak di daerah dataran yang lebih tinggi memerlukan program intensifikasi agar menghasilkan produktifitas yang tinggi. Hal ini penting untuk dilakukan sebagai strategi jangka pendek dan panjang jika terjadi kenaikan muka air laut.

Kenaikan muka air laut diperparah lagi oleh potensi terjadinya badai destruktif (El Nino dan La Nina yang menurut penelitian dapat menurunkan produksi kopi di Indonesia sampai 80%. Hal ini tidak terlepas dari ketidaknormalan cuaca yang terjadi dari biasanya. Ketika terjadi El Nino makan musim kemarau menjadi sangat kering dan diikuti oleh terlambatnya musim penghujan. Sedangkan jika La Nina terjadi maka musim hujan akan datang lebih awal dan lebih panjang dari kondisi normal. Hal ini dapat menyebabkan rontoknya bunga kopi sebelum penyerbukan akibat curah hujan yang tinggi dan berkepanjangan terutama disaat musim kopi berbunga. Kondisi ini juga berpengaruh negatif pada pertanian lahan basah (sawah) yang menyebabkan menurunkan produksi akibat dari ketidakstabilan cuaca yang terjadi.

Mengacu pada laporan dampak perubahan iklim pada pertanian Indonesia menunjukkan periode tahun 2051-2080, Indonesia bisa kehilangan nilai ekonomi produksi beras sebesar Rp. 42,4 triliun dan kopi sebesar Rp. 3,9 triliun. Besarnya susut nilai ekonomi sebesar itu merupakan kerugian besar bagi perekonomian Indonesia sekaligus memperberat upaya penyediaan pangan bagi masyarakat. Kemungkinan jika hal tersebut terjadi, maka tren impor produk pangan utamanya beras akan semakin meningkat. Peningkatan impor kemungkinan terjadi sebesar 117%. Kemungkinan dampak ekonomi yang paling nyata dirasakan oleh masyarakat adalah kenaikan harga dua komoditas ini. Harga beras dalam negeri akan sangat bergantung pada harga beras di pasar internasional. Hal ini berimplikasi pada semakin menurunnya daya saing komoditas beras dalam negeri. Disisi lain, dampak ekonomi juga akan dirasakan oleh semua pihak dalam rantai pasokan kopi terlebih para pecinta kopi karena kemungkinan akan terjadi kenaikan harga kopi sebesar 32% di tahun 2050 dan meningkat menjadi 56% -109% di tahun 2100. Pangan alternatif spesifik lokasi perlu dimasyarakatkan kembali sebagai upaya preventif mencegah kerawanan pangan masyarakat. Pangan lokal menjadi solusi terbaik dalam jangka pendek maupun panjang untuk menjawab tantangan yang terjadi. Setiap daerah perlu memiliki peraturan daerah terkait dengan hal ini sebagai contoh Peraturan Gubernur Bali Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali.

Tantangan pada sektor pertanian yang diakibatkan oleh faktor iklim diketahui dapat menimbulkan dampak negatif terhadap sektor primer ini. Dampak ekonomi merupakan dampak yang paling dirasakan oleh masyarakat. Kondisi ini dapat menyebabkan instabilitas dalam masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka disaat terjadi penurunan produksi yang ekstrim. Berbagai upaya perlu untuk dilakukan sebagai bagian dari mitigasi dan adaptasi untuk mencapai swasembada beras dan meningkatkan produk di kopi Indoneia. Upaya mitigasi dan adaptasi yang dapat dilakukan yakni 1) penanaman pohon (reboisasi) terutama lahan-lahan kritis, 2) kembali menggunakan bahan-bahan organik sebagai sarana produksi pertanian diantaranya pupuk organik, POC, pestisida alami, dan sebagainya, 3) mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan meningkatkan potensi gas rumah kaca, 4) Pengelolaan sampah yang ramah terhadap lingkungan, 5) beralih menggunakan energi baru terbarukan.